Kedaulatan Pangan, Jalan Keluar Krisis Pangan Indonesia
Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini terjadi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harganya naik tak terkendali. Namun harus diperhatikan, bahwa krisis pangan yang terjadi di Indonesia bukanlah sebab yang akan berdampak pada hal lain (kemiskinan, pengangguran). Fenomena ini adalah sebuah akibat dari kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi—sebagai inti dari Konsensus Washington.
Privatisasi; Akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa.
Privatisasi sektor pangan—yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel)—seperti yang sudah terjadi saat ini.
Liberalisasi; krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi; beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.
Krisis pangan di awal tahun 2008 ini menunjukkan bahwasanya tesis tentang pasar bebas itu tidak berlaku untuk keselamatan umat manusia—terutama dalam hal pangan. Bahkan sejak aktifnya perdagangan bebas ini dipromosikan WTO, angka kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa (1996) menjadi 853 juta jiwa (2007).
Oleh karena itu, Serikat Petani Indonesia (SPI), dan di tingkat internasional La Via Campesina sudah dengan tegas menyatakan agar WTO keluar dari pertanian (1996-sekarang). Dan untuk jangka panjang, petani menuntut dilaksanakannya pembaruan agraria dalam rangka basis kebijakan agraria dan pertanian.
Dalam jangka pendek dan menengah, masalah krisis pangan sebenarnya terkait dengan 3 hal—yakni (1) produksi pangan; (2) luasan lahan; dan (3) tata niaga pangan. Dengan memperhatikan ketiga hal tersebut, maka petani menuntut solusi jangka pendek kepada pemerintah:
- Mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen
- Memberikan insentif harga kepada petani komoditas pangan (terutama beras, kedelai, jagung, singkong, gula dan minyak goreng) jika terjadi fluktuasi harga. Hal ini sebagai jaminan untuk tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri.
- Mengatur kembali tata niaga pangan. Pangan harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bulog bisa diberikan peran ini, tapi harus dengan intervensi yang kuat dari Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan.
- Menambah produksi pangan secara terproyeksi dan berkesinambungan, dengan segera meredistribusikan tanah objek landreform yang bisa segera dipakai untuk pertanian pangan.
- Menyediakan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit, pupuk, teknologi dan kepastian beli
- Memberikan dukungan pelembagaan organisasi petani komoditas pangan, yakni kelompok tani, koperasi, dan ormas tani
Menurut saya, ada beberapa isu sentral yang dalam kedaulatan pangan pada pencetusan awalnya: 1) akses sumber daya produktif yang harus dikuasai rakyat, seperti: tanah, air, benih, dan lainnya; 2) perlawanan terhadap sistem perdagangan internasional yang menghalalkan impor murah dan dumping produk pangan; 3) perjuangan untuk pasar yang adil melawan kendali distribusi dan pasar yang cenderung dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan melupakanpasar lokal dan domestik.
Konsep ini dinilai sebagai sebuah alternatif yang membawa pesan baru untuk tatanan dunia yang penuh dengan ketidakadilan kala itu. Ia menjadi bagian dalam perlawanan nyata terhadap rejim perdagangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), rejim finansial IMF dan Bank Dunia, yang marak di pertengahan 1990-an. Banyak organisasi rakyat di tingkat nasional, regional maupun internasional yang mengkaji lebih lanjut dan mempromosikan konsep ini. Perjuangan terus berlanjut hingga mencapai titik terang dalam beberapa bulan belakangan: legitimasi IMF berkurang, negosiasi WTO mati suri sejak Juli 2006, dan diadopsinya konsep-konsep kerakyatan oleh negara-negara tertentu (Venezuela, Kuba, Bolivia, Nepal, Brazil, dan lainnya) serta berkembangnya sistem perdagangan berbasiskan solidaritas (ALBA).
Pada tahun 2006, digagaslah sebuah forum rakyat yang direncanakan mewadahi perjuangan kedaulatan pangan. Pertemuan ini diadakan di Mali, negeri di Afrika Barat—salah satu negara yang telah mengadopsi kedaulatan pangan. Mali dianggap sukses berpihak kepada petani, dengan mencantumkan kedaulatan pangan tersebut dalam konstitusinya.
Nyeleni
Forum ini diselenggarakan pada 23-27 Februari 2007 ini, dengan nama Nyeleni. Nama ini diambil dari seorang petani perempuan yang perjuangannya sangat melegenda dan membudaya di tanah Mali. Menurut Ibrahima Coulibaly, pemimpin organisasi petani di Mali, Nyeleni adalah petani perempuan yang teguh dan ulet. Pada masa hidupnya, Mali adalah negara yang tandus dan gersang. Karenanya, tak ada yang sanggup memproduksi pangan yang cukup walau hanya untuk konsumsi keluarga. Namun Nyeleni dengan teguh terus bertani dengan memanfaatkan kearifan lokal dan tradisi, membangun sistem air yang bisa dinikmati bersama komunitasnya, sehingga terbangun sistem pertanian yang menakjubkan dari tangan perempuan ini. Cerita-cerita rakyat juga mengatakan, bahwa tanah-tanah yang dulunya kering akhirnya bisa menjadi subur atas upaya Nyeleni. Orang-orang setempat pun mengakuinya sebagai perlambang Dewi Kesuburan, kira-kira seperti Dewi Sri di Indonesia.
Untuk menampung sekitar 600 orang dari seluruh dunia dalam forum ini dibangunlah sebuah desa kedaulatan pangan di tepi danau Selingue. Desa tersebut juga dinamakan Nyeleni. Berbeda dengan forum terbuka seperti World Social Forum (WSF), terdapat proses seleksi partisipan. WSF dikritik terlalu ‘becek’ hingga mengakomodir kepentingan individu dan organisasi yang bahkan tidak ikut memperjuangkan kepentingan rakyat. Ke-enam ratus partisipan Nyeleni adalah orang-orang yang diseleksi dari pejuang-pejuang kedaulatan pangan yang mewakili organisasi yang sejauh ini konsisten mempromosikan kedaulatan pangan dan aktif dalam gerakan rakyat.
Tujuan dari forum ini adalah untuk memperdalam arti kedaulatan pangan bagi rakyat, terutama oleh organisasi-organisasi yang selama ini aktif memperjuangkan kedaulatan pangan. Kemudian, untuk memikirkan juga pembangunan wadah-wadah perjuangan, seperti membangun aliansi yang lebih luas. Selanjutnya, untuk mengatur rencana-rencana aksi, strategi bersama, dan komitmen bersama untuk perjuangan yang lebih hebat lagi.
Terlepas dari masalah teknis yang masih mengganjal seperti listrik, sanitasi dan pembangunan desa yang belum sepenuhnya selesai, forum Nyeleni ini mendapat respon yang cukup hangat dari gerakan rakyat di seluruh dunia. Bahkan beberapa tokoh dari berbagai negara disebut-sebut akan menghadiri puncak pembicaraan gerakan rakyat mengenai kedaulatan pangan ini. Sebut saja Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Bolivia Evo Morales, Presiden Mali Amadi Toure, tokoh gerakan petani dan calon presiden Perancis José Bové, dan wakil dari parlemen Nepal. Yang disebut dua pertama akhirnya gagal hadir—walaupun Chavez mengirimkan video dukungan bagi kedaulatan pangan di akhir forum—sementara yang lainnya akhirnya datang. Belum juga termasuk pemimpin-pemimpin gerakan petani, buruh, nelayan, migran, masyarakat adat, penggembala dan konsumen dari seluruh dunia.
Sektor dan Isu
Di tahun 2002, FAO menggelar World Food Summit 5 Years Later, yang menandakan komitmen negara-negara untuk melawan kelaparan. Di peringatan yang sama pula, gerakan rakyat terutama dari petani—La Via Campesina—mengingatkan bahwa mustahil mencapai tujuan mengurangi setengah jumlah kelaparan pada tahun 2015. Alasannya, ada masalah-masalah mendasar yang belum menjadi komitmen pemerintah dan lembaga-lembaga internasional. Selain itu, target tersebut tentunya kurang realistis mengingat setelah lima tahun berlalu namun tidak ada perkembangan yang signifikan.
Masalah-masalah mendasar inilah yang dipertanyakan oleh gerakan rakyat, karena sesungguhnya dari segi produktivitas ternyata stok pangan dunia meningkat. Namun, jumlah rakyat yang rawan pangan cenderung bertambah (La Via Campesina, 2002). Dalam penuturan Peter Rosset, dari tata niaga pangan dunia ternyata ada yang tidak beres. Harga produk pertanian mentah rata-rata dari petani cenderung menurun, namun harga produk keluaran rata-rata industri pangan/pengolahan perusahaan transnasional cenderung meningkat (Rosset, 2006).
Belum lagi masalah ketidakadilan akses rakyat terhadap sumber daya produktif (lahan, air, benih, dan sebagainya). Tuntutan reforma agraria yang sejati adalah isu yang lahir dari problem ini—dan sudah menjadi tekanan gerakan rakyat, terutama petani dan masyarakat adat dalam semboyan land, territory and dignity. Sebelumnya ada pencapaian besar dari tekanan gerakan rakyat, yakni diadopsinya reforma agraria dan kedaulatan pangan dalam dokumen International Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD), yang dilaksanakan FAO pada tahun 2006 lalu di Brazil. Namun sayangnya komitmen ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, jadi tidak bisa dipaksakan kepada negara yang belum melaksanakannya.
Isu lain yang tak kalah mengemuka di tahun-tahun tersebut adalah isu perdagangan internasional—terutama pangan—yang tidak adil, dengan munculnya sistem WTO yang menghalalkan dumping dan pembukaan akses pasar. Dampak sistem WTO ini adalah kehancuran sistem pertanian berbasis keluarga karena tidak mampu bersaing dengan produk pangan berharga supermurah dari negara maju seperti AS dan Uni Eropa, yang terutama dipromosikan oleh perusahaan transnasional raksasa (Cargill, Tyson, Charoen Pokphan, Nestle, dan lainnya). Subsidi dalam WTO yang berujung pada dumping produk pangan ini juga bersembunyi pada mekanisme kotak-kotak (Green Box, Blue Box dan Amber Box) serta disahkan pada Farm Bill di AS dan Common Agricultural Policy di Uni Eropa. Dengan sistem ini jelas petani kecil di negara miskin dan berkembang yang merupakan ujung tombak produksi pangan terancam kehidupannya, karena produksi, harga dan pasar domestiknya tidak terlindungi dari banjir impor.
Dengan praktek mekanisme pasar bebas, apalagi didahului dengan revolusi hijau yang membuat petani di seluruh dunia tergantung dengan input kimia (pupuk, pestisida), kehancuran sistem pangan jelas menjadi nyata. Penyakit-penyakit dengan ongkos sosial tinggi pun muncul: pemiskinan, kelaparan, pengangguran, migrasi, dan sebagainya. Tahun 2002 dicatat dengan ketidakberdayaan FAO dan kegagalan ketahanan pangan dalam mengurangi masalah-masalah mendasar yang telah disebutkan di atas. Tahun-tahun ini juga ditandai dengan banjir impor di negara-negara miskin dan berkembang, juga dominasi perusahaan transnasional dalam bidang pangan dan agrokimia. Tahun 2006, FAO secara implisit mengakui target mengurangi kelaparan dunia memang tak akan tercapai—hingga tak memperingati World Food Summit 10 Years Later.
Kedaulatan pangan merupakan hak sebuah negara dan juga rakyatnya—dalam hal ini petani—untuk menentukan sendiri kebijakan pangannya dengan memprioritaskan produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin penguasaan petani atas tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil, serta melarang adanya praktek perdagangan pangan dengan cara dumping. Kedaulatan Pangan tidak melarang adanya perdagangan pangan, tetapi produksi pangan haruslah diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan lokal sehingga menjamin hak atas pangan bagi setiap orang, diproduksi dengan cara ekologis (agro-ecology) yaitu pertanian berkelanjutan berbasiskan pada keluarga tani (sustainable agriculture based on family farming). Kedaulatan pangan secara prinsipil juga menjamin harga yang adil dan menguntungkan serta tak lebih rendah dari ongkos produksi terhadap produsen, dan di sisi lain juga menjamin harga yang fair terhadap konsumen. Untuk itulah dalam forum kedaulatan pangan Nyeleni 2007, yang mengikuti adalah enam sektor yang mewakili gerakan kedaulatan pangan dunia: 1) petani 2) nelayan 3) penggembala/kaum pastoralis 4) masyarakat adat 5) buruh; dan buruh migran 6) konsumen dan gerakan perkotaan.
Dalam perjuangannya, inilah prinsip-prinsip yang diperjuangkan oleh gerakan rakyat untuk menegakkan kedaulatan pangan rakyat (Henry Saragih, 2007):
Tidak ada komentar:
Posting Komentar