Jumat, 08 Januari 2010

Postmodern

Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Postmodernisme dalam filsafat. Istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia arsitektur.

Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara seni yang masuk akal dengan budaya populer. Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard. Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada logika standart, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan logika yang tidak standart.


Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara bertingkat seseorang akan kehilangan individualitas kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.

Berdasarkan pandangan posmodernisme, pengikisan tingkat individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mengurangi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.

Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap” tidak menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.

Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur pola sosial interaksi yang sedang terjadi dalam sebagian masyarakat.Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.

Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.

Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh Rosenau (1992:8) bahwa perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan.

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi.

Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.

Sosiologi

Mempelajari ilmu sosiologi tidak akan dapat terlepas pula dari mempelajari mata kuliah teori sosiologi baik yang klasik maupun yang modern. Dengan demikian Anda sebagai mahasiswa sosiologi mempunyai kewajiban untuk mempelajari dan juga memahami tentang landasan teori dari konsep-konsep sosiologi yang sudah dan yang akan Anda pelajari dalam mata kuliah-mata kuliah lainnya.

Mata kuliah Teori Sosiologi Klasik ini merupakan dasar untuk mempelajari mata kuliah Teori Sosiologi Modern, karena pemikiran dari para tokoh yang dikategorikan dalam teori sosiologi klasik banyak mempengaruhi bahkan menjadi dasar berpijak dari munculnya teori-teori dari para tokoh yang kemudian dikategorikan dalam teori sosiologi modern. Pemikiran-pemikiran serta konsep-konsep para tokoh sosiologi klasik dapat dikatakan sampai kapan pun akan terus menjadi payung dari munculnya teori-teori baru di kemudian hari, atau dapat juga dikatakan sosiologi klasik itu tidak akan pernah hilang dari khasanah perkembangan ilmu sosiologi.

Dalam teori sosiologi klasik akan dibahas latar belakang dari perkembangan teori sosiologi dan riwayat hidup dari para tokoh sosiologi klasik serta pemikiran-pemikiran mereka. Berawal dari modul pertama pembahasan akan mengetengahkan materi tentang teori sosial dalam konteks sosiologi kemudian dilanjutkan dengan materi tentang sejarah teori sosiologi klasik yang akan dikemukakan pada modul kedua. Sesuai dengan perkembangan masyarakat yang terjadi pada abad ke-20 maka teori sosiologi pun juga mengalami perkembangan, dimana akan dibahas tentang teori sosiologi menjelang abad ke-20 dan perkembangannya setelah pertengahan abad ke-20, semua itu akan dijelaskan pada modul ketiga.

Agar Anda dapat mengetahui secara lebih jelas tentang tokoh sosiologi klasik maka pada modul-modul berikutnya yang dimulai dari modul empat sampai modul dua belas, akan disajikan pembahasan tentang tokoh-tokoh dari teori sosiologi klasik. Pembahasan akan berawal dari Auguste Comte, Hebert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, Georg Simmel, Karl Mannheim, Robert Ezra Park, dan juga Alfred Schutz . Setiap pembahasan akan diuraikan tentang riwayat hidup masing-masing tokoh, yang kemudian dilanjutkan pula tentang pemikiran teoritis mereka masing-masing.

Para sosiolog Amerika awal beraliran politik liberal dan tidak konservatif seperti kebanyakan teoritisi Eropa awal. Menurut Schwendinger dan Schwendinger (1974) menyatakan bahwa teori sosiologi Amerika awal membantu merasionalkan eksploitasi, imperialisme domestik dan internasional, serta ketimpangan sosial. Dengan demikian, liberalisme politik sosiolog awal ini mengandung implikasi konservatif yang sangat besar.Beberapa faktor yang berperan penting dalam perkembangan teori Amerika adalah industrialisasi dan urbanisasi. Roescoe Hinkle (1980) dan E. Fuhrman (1980) melukiskan beberapa konteks dasar yang mendorong bangunan teori yang menyangkut perubahan sosial. Sementara Arthur Vidich dan Stanford Lyman (1985) menunjukkan besarnya pengaruh Kristen, terutama ajaran Protestan, terhadap kemunculan sosiologi Amerika. Menurutnya, sosiologi merupakan �respon moral dan intelektual terhadap masalah kehidupan dan terhadap pemikiran lembaga dan keyakinan orang Amerika�Ciri lain sosiologi Amerika awal adaah berpaling dari perspektif historis dan searah dengan orientasi positivistik atau �ilmiah�. Sosiolog Amerika lebih cenderung mengarah pada upaya studi ilmiah terhadap proses-proses sosial jangka pendek daripada membuat interpretasi perubahan historis jangka panjang. Kebanyakan teoritisi Eropa menciptakan teori sosiologi, sedangkan teoritisi Amerika memanfaatkan landasan teoritis yang sudah disediakan itu.Berikut tokoh-tokoh yang secara historis berpengaruh terhadap teori sosiologi:Spencer (1820-1903). Spencer lebih berpengaruh terhadap sosiologi Amerika awal dikarenakan Spencer menulis dalam bahasa Inggris, sedangkn teoritisi lain tidak. Selain itu ia menulis dalam pengertian nonteknis yang menyebabkan karyanya mudah diterima oleh kalangan yang lebih luas. Teorinya bersifat menerangkan bagi masyarakat yang tengan menjalani proses industrialisasi.

William Graham Sumner (1840-1910). Pada dasarnya ia menganut pemikiran survival of the fittest dalam memahami dunia sosial. Seperti Spencer, ia melihat manusia berjuang melawan lingkungannya dan yang paling kuatlah yang akan berhasil mempertahankan hidupnya. Sistem teoritis ini cocok dengan perkembangan kapitalisme karena menyediakan legitimasi teoritis bagi ketimpangan kekuasaan dan kekayaan yang ada.

Lester F. Ward (1841-1913). Ward menerima gagasan bahwa manusia berkembang dari bentuk yang lebih rendah ke statusnya yang seperti sekarang. Ia yakin bahwa masyarakat kuno ditandai oleh kesederhanaan dan kemiskinan moral, sedangkan masyarakat modern lebih kompleks, lebih bahagia dan mendapatkan kebebasan lebih besar. Menurutnya, sosiologi tidak hanya bertugas meneliti kehidupan sosial saja, tetapi harus pula menjadi lmu terapan. Sosiologi terapan ini meliputi kesadaran yang menggunakan pengetahuan ilmiah untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Thorstein Veblen (1857-1929). Arti penting gagasannya terdapat dalam bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class (1899/1994) memfokuskan pada konsumsi, bukannya produksi. Jadi karya ini mengantisipasi pergeseran dalam teori sosiologi dewasa ini yang berpindah dari fokus produksi menuju fokus konsumsi.Aliran ChicagoAlbion Small (1848-1926). Pendiri Jurusan Sosiologi Universitas Chicago tahun 1892. Pendapatnya mengarah kepada pandangan bahwa sosiologi harus memusatkan perhatian pada reformasi sosial dan pandangan ini digabungkan dengan keyakinan bahwa sosiologi haruslah selalu ilmiah.W.I. Thomas (1863-1947). Pernyataan utamanya mucul pada tahun 1918 dengan diterbitkannya hasil riset ilmiah bersama Florian Znaniecki berjudul The Polish Peasant in Europe and America. Martin Bulmer melihatnya sebagai studi “landmark“ karena hasil studinya itu �memindahkan sosiologi dari teori abstrak dan riset kepustakaan ke studi dunia empiris dengan menggunakan sebuah kerangka teoritis. Selain itu terdapat juga pernyataan psikologi sosialnya yang paling terkenal adalah: “Bila manusia mendefinisikan situasi sebagai nyata, maka akibatnya adalah nyata.“ Penekanannya adalah pada arti penting apa yang dipikirkan orang dan bagaimana pikirannya itu mempengaruhi apa yang mereka kerjakan. Sasaran perhatian psikologi sosial mikroskopik ini bertolak belakang dengan sasaran perhatian perspektif struktur sosial dan kultural pemikir Eropa seperti Marx, Weber, dan Durkheim. Inilah salah satu ciri khas produk teoritis aliran Chicago – interaksionisme simbolik.Robert Park (1864-1944). Ia mengembangkan minat yang besar dari aliran Chicago terhadap ekologi urban. Bersama Ernest W. Burgess, 1921, ia menerbitkan buku ajar sosiologi pertama yang berjudul An Introduction to The Science of Sociology.

Charles Horton Cooley (1864-1929). Ia mempelajari tentang aspek psikologi sosial dari kehidupan sosial. Cooley menekuni tentang kesadaran. Yang terkenal adalah konsep cermin diri (the looking glass self), yang menyatakan bahwa manusia memiliki kesadaran dan kesadaran itu terbentuk dalam interaksi sosial yang berlanjut. Selain itu adalah konsep kelompok primer, yakni kelompok yang hubungan antara anggotanya sangat akrab dan bertatap muka dalam arti saling mengenal kepribadian masing-masing. Baik Cooley maupun Mead menolak pandangan behavioristik tentang manusia, pandangan yang menyatakan manusia (individu) memberikan respon secara membabi buta dan tanpa kesadaran terhadap rangsangan dari luar. Ia menganjurkan sosiolog mencoba menempatkan diri di tempat aktor yang diteliti dengan menggunakan metode introspeksi simpatetik untuk menganalisis kesadaran itu. Sosiologi seharusnya memusatkan perhatian pada fenomena psikologi sosial seperti kesadaran, tindakan, dan interaksi.

George Herbert Mead (1863-1931). Pemikiran Mead perlu dilihat dalam konteks behaviorisme psikologi tentang pemusatan perhatian pada aktor dan perilakunya. Setelah kematian Mead dan pindahnya Park, mulai memudar Sosiologi Chicago.

Selain itu, sekelompok wanita juga membentuk organisasi reformasi sosial serta mengembangkan teori sosiologi rintisan. Diantara wanita itu adalah Jane Adams (1860-1935), C. P. Gilman (1860-1935), A. J. Cooper (1858-1964), Ida W. Barnett (1862-1931), Marianne Weber (1870-1954) dan B.P. Webb (1858-1943). Ciri-ciri utama teori mereka yang sebagian dapat menjelaskan bahwa teori itu mereka kemukakan dalam rangka upaya membangun sosiologi profesional. Karena perkembangan disiplin sosiologi meminggirkan sosiolog dan teoritisi sosiologi wanita, metode riset mereka sering dipadukan dengan praktik yang mereka lakukan sendiri, dan aktivitas para wanita itu dijadikan sebagai alasan untuk menetapkan mereka sebagai �bukan sosiolog�.

W.E.B. Du Bois (1868-1963) dan Teori Ras. Ia tertarik pada ide-ide abstrak demi melayani hak-hak sipil, terutama untuk orang-orang Afrika Amerika. Studinya, The Philadelphia Negro (1899/1996), terhadap tujuh distrik di Philadelphia dan terkenal sebagai etnografi rintisan. Teorinya yang terkenal The Soul of Black Folk serta veil (selubung) yang menciptakan separasi yang jelas antara orang Afrika-Amerika dan kulit putih. Selain itu teori kesadaran ganda (double conciousness), perasaan akan “ke-dua-an� atau perasaan di pihak Afrika-Amerika yang melihat dan mengukur diri sendiri melalui mata orang lain.

Teori Sosiologi Hingga Pertengahan Abad 20

Pitirim Sorokin (1889-1968). Ia mendirikan jurusan sosiologi di Harvard dan mengangkat Talcot Parsons sebagai instruktur sosiologi.

Talcot Parsons (1902-1979). Pada tahun 1937, ia menerbitkan buku yang berjudul The Structure of Social Action. Buku ini penting karena: pertama, memperkenalkan teori-teori besar Eropa ke kalangan luas di Amerika. Kedua, Ia memusatkan perhatian pada karya Durkheim, Weber,dan Pareto. Ketiga, menjadi tonggak penyusunan teori sosiologi sebagai kegiatan sosiologi yang penting dan sah. Keempat, Ia menekankan penyusunan teori sosiologi khusus yang telah berpengaruh besar terhadap sosiologi. Ia lebih memusatkan perhatianpada sistem sosial dan fungsionalis struktural. Kekuatannya terletak pada hubungan antara struktur sosial berskala besar dan pranata sosial. Buku lainnya berjudul The Social System(1951), berkonsentrasi pada struktur masyarakat dan pada antarhubungan berbagai struktur itu. Perubahan dipandang sebagai proses yang teratur dan Parsons akhirnya menerima pemikiran neorevolusioner tentang perubahan sosial.

George Homans (1910-1989). Ia mencetuskan teori Pareto dan kemudian dijadikan buku yang bejudul An Introduction to Pareto (ditulis bersama Charles Curtis) tahun 1934. Selain itu, ia mengemukakan teori behaviorisme psikologi. Berdasarkan perspektif ini, ia membangun teori pertukaran.Di sini Harvard dan produk teoritis utamanya, fungsionalisme struktural, menjadi dominan dalam sosiologi di akhir tahun 1930-an dan menggantikan aliran Chicago dan interaksionisme simbolik.Herbert Blumer (1900-1987). Ia menciptakan ungkapan symbolic interactionism pada tahun 1937.Pada tahun 1900-an hingga 1930-an teori Marxian berkembang, disertai kemunculan aliran kritis atau aliran Frankfurt. Teori kritis menggabungkan pemikiran Marx dan Weber yang menciprakan istilah �Marxisme Weberian�. Aliran ini menggunakan teknik penelitian ilmiah yang dikembangkan oleh sosiolog Amerika untuk meriset masalah minat terhadap pemikiran Marxis. Teoritisi kritis berupaya menyatukan teori yang berorientasi Freudian dengan pemikiran Marx dan Weber di tingkat sosialdan kultural.Karl Manheim (1893-1947). Ia terkenal karena membedakan antara dua sistem gagasan – ideologi dan utopia. Ideologi adalah sistem gagasan yang mencoba menyembunyikan dan melestarikan keadaan kini dengan menginterpretasikannya dari sudut pandang masa lalu. Sebaliknya, utopia adalah sistem gagasan yang mencoba melampaui keadaan kini dengan memusatkan perhatian pada masa datang.Teori Sosiologi dari Pertengahan Abad 20Era 1940-an dan 1950-an adalah tahun paradoks antara puncak dominasi dan awal kemerosotan fungsionalisme struktural.George Huaco (1986) mengaitkan pertumbuhan dan kemerosotan fungsionalisme struktural dengan posisi masyarakat Amerika dalam tatanan dunia.C. Wright Mills (1916-1962). Ia menerbitkan dua karya utama: pertama, White Collar yakni pekerja berkerah putih. Kedua, The Power Elite (1956) merupakan buku yang menunjukkan betapa Amerika didominasi oleh sekelompok kecil pengusaha, politisi dan pimpinan tentara. Selain itu, ia menerbitkan buku yang berjudul The Sosiological Imagination (1959). Buku ini mengandung kritikan keras Mills terhadap Parsons dan terhadap praktik teori besarnya.

Dahrendorf . Karya utamanya Class and Class Conflict in Indutrial Society (1959) berpengaruh dalam teori konflik karena banyak menggunakan logika struktural-fungsional yang memang sesuai dengan logika sosiolog aliran utama.

George Homans (1910-1989). Lahirnya teori pertukaran dan ia menggunakan pendekatan behaviorisme paikologi Skinner. Ia menerbitkan buku Social Behavior: Its Elementary Forms. Menurutnya jantung sosiologi terletak dalam studi interaksi dan perilaku individual. Perhatian utamanya lebih tertuju pada pola-pola penguatan (reinforcement), sejarah imbalan (reward), dan biaya (cost) yang menyebabkan orang melakukan apa-apa yang mereka lakukan.

Erving Goffman (1922-1982). Pernyataan paling terkenal Goffman tentang teori dramaturgis berupa buku Presentation of Self in Everiday Life, diterbitkan tahun 1959. Menurutnya interaksi dilihat sangat rapuh, dipertahankan oleh kinerja sosial. Kinerja sosial yang buruk atau kacau merupakan ancaman besar terhadap interaksi sosial sebagaimana yang terjadi pada pertunjukan teater.Alfred Schutz (1899-1959). Ia memusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang lain sementara mereka hidup dalam aliran kesadaran mereka sendiri. Ia juga menggunakan perspektif intersubjektivitas dalam pengertian lebih luas untuk memahami kehidupan sosial, terutama mengenai ciri sosial pengetahuan. Secara keseluruhan Schutz memusatkan perhatian pada hubungan dialektika antara cara individu membangun realitas sosial dan realitas kultural yang mereka warisi dari para pendahulu mereka dalam dunia sosial.Bila para sosiolog fenomenologi cenderung memusatkan perhatian pada apa yang dipikirkan orang, sosiolog etnometodologi mencurahkan perhatian pada studi terinci tentang percakapan orang. Etnometodologi pada dasarnya adalah studi tentang kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dapat dipahami anggota masyarakat biasa dan yang mereka jadikan sebagai landasan untuk bertindak.Akhir 1960-an ditandai perkembangan teori Marxian dalam teori sosiologi Amerika. Dan berawal di penghujung 1970-an, muncul teori baru yang menantang teori sosiologi yang sudah mapan – dan bahkan menantang sosiologi Marxian sendiri. Cabang pemikiran sosial radikal terakhir inilah yang dimaksud dengan teori feminis kontemporer. Teori feminis melihat dunia dari sudut pandang wanita untuk menemukan cara yang signifikan, tetapi tak diakui dimana aktivitas wanita – yang disubordinasikan berdasarkan jender dan dipengaruhi oleh berbagai praktik stratifikasi seperti kelas, ras, umur, heteroseksual yang dipaksakan, dan ketimpangan geososial – membantu menciptakan dunia. Teori ini berinteraksi dengan perkembangan aliran post-strukturalis dan post-modern. Ketika strukturalisme tumbuh di dalam sosiologi, di luar sosiologi berkembang pula post-strukturalisme.Michael Foucault (1926-1984). Ia memusatkan perhatian pada struktur, tetapi kemudian ia beralih keluar struktur, memusatkan perhatian pada kekuasaan dan hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan.Perkembangan Terkini dalam Teori SosiologiBanyak karya dalam teori sosiologi Amerika yang memusatkan perhatian pada hubungan antara teori-teori mikro dan makro serta menyatukan antara berbagai tingkat analisis. Ada empat tingkatan utama analisis sosial yang harus dijelaskan menurut cara yang terintegrasi: subjektivitas makro, objektivitas makro, subjektivitas mikro, dan objektivitas mikro.Sejalan dengan pertumbuhan minat terhadap analisis integrasi mikro-makro di Amerika, di Eropa orang memusatkan perhatian pada analisis integrasi agen-struktur. Ada empat upaya analisis utama dalam teori sosial Eropa masa kini yang dapat dihimpun:

* Teori strukturisasi Anthony Gidden (1984), melihat agen dan struktur sebagai dualitas, artinya keduanya dapat dipisahkan satu sama lain.
* Margaret Archer (1982) menolak pendapat yang menyatakan agen dan struktur dapat dipandang sebagai dualitas, tetapi lebih melihatnya sebagai dualisme.
* Piere Bourdieu dalam bukunya, masalah agen-struktur diterjemahkan menjadi pemusatan perhatian terhadap hubungan antara habitus dan bidang atau lapangan (field).
* Jurgen Habermas menjelaskan masalah agen-struktur di bawah judul �kolonisasi kehidupan-dunia�.Gerakan di atas membuka jalan untuk gerakan lebih luas menuju sintesis teoritis yang dimulai sekitar awal tahun 1990-an. Terdapat dua aspek khusus karya sistesis baru dalam teori sosiologi. Pertama, sintesis yang sangat luas dan tak terbatas pada upaya sintesis yang terpisah. Kedua, sintesis yang bertujuan menyintesiskan pemikiran teoritisi yang relatif sempit dan tidak mengembangkan teori sintesis besar yang meliputi semua teori sosiologi.Semua teoritisi klasik besar (Max, Weber, Durkheim, dan Simmel) memikirkan dunia modern.
* Anthony Giddens menggunakan istilah seperti modernitas �radikal� atau �tinggi�. Ia melihat modernitas sekarang sebagai �juggernaut� yang lepas kontrol.

Menurut Ulrich Beck (1992), modernitas yang baru muncul ini paling tepat dilukiskan sebagai �masyarakat berisiko�. Jurgen Habermas melihat modernitas sebagai proyek yang belum selesai. Sedangkan post-modernitas adalah sejarah baru yang dianggp telah menggantikan era modern atau modernitas. Teori sosial post-modern adalah cara berpikir baru tentang post-modernitas; dunia sudah demikian berbeda sehingga memerlukan cara berpikir yang sama sekali baru.Teori-teori yang Perlu Diperhatikan di Awal Abad 21Teori Sosial MultikulturalKarakteristik teori multikultural adalah:

* Penolakan terhadap teori universalistik yang cenderung mendukung pihak yang kuat; teori multikultural berupaya memberdayakan pihak yang lemah.
* Teori multikultural mencoba menjadi inklusif, menawarkan teori atas nama kelompok-kelompok lemah.
* Teoritisi multikultural tidak bebas nilai; mereka sering menyusun teori atas nama pihak lemah dan bekerja di dunia sosial untuk mengubah struktur sosial, kultur dan prospek untuk individu.
* Teoritisi multikultural tidak hanya berusaha mengganggu dunia sosial tetapi juga dunia intelektual; mereka mencoba menjadikannya lebih terbuka dan beragam.
* Tidak ada usaha untuk menarik garis yang jelas antara teori dan tipe narasi lainnya.
* Teori multikultural sangat kritis; kritik itu adalah kritik terhadap diri dan kritik terhadap teoritisi lain serta terhadap dunia sosial.
* Teoritisi multikultural mengakui bahwa karya mereka dibatasi oleh sejarah tertentu, konteks kultural dan sosial tertentu, dimana mereka pernah hidup dalam konteks tersebut.

Teori Sosial Post-ModernTeori ini cenderung mendefinisikan masyarakat post-modern sebagai masyarakat konsumen, dengan akibat bahwa konsumsi memainkan peran penting dalam teori itu.Teori Konsumsi

Terdapat peningkatan dalam karya teoritis tentang konsumsi. Sebagai contoh karya teoritis yang didasarkan pada setting dimana kita mengonsumsi, misalnya Consuming Places (Urry, 1995), Enchanting a Disechanted World: Revolutionizing the Means of Consumption (Humphery, 1998).

Teori Aktor-Jaringan

Teori ini sangat dipengaruhi oleh strukturalisme dan post-strukturalisme.Teori GlobalisasiTeori ini muncul karena semakin mengglobalnya dunia sosial.Jadi, karena dunia sosial (dan intelektual) terus-menerus berubah, kita dapat mengantisipasi aliran perkembangan teori baru yang didesain untuk menjelaskan dan menangani perubahan-perubahan tersebut.

Selasa, 05 Januari 2010

MeretasKemerdekaan Sejati

Kemerdekaan yang diperjuangkan dengan jerih payah dan air mata oleh para perintis, pejuang kemerdekaan bangsa ini, tidak bertujuan untuk kemerdekaan itu sendiri. Kita merdeka dari cenkraman kungkungan feodalisme dan kolonialisme dengan harapan, tujuan, cita-cita yang jelas dan tegas, yakni untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Cita-cita kemerdekaan kebangsaan Indonesia ini kemudian dikukuhkan dalam suatu Undang –Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ( Bdk. Pembukaan UUD 1945, Alinea ke-4).
Jadi Mission statement kemerdekaan ini sangat jelas dirumuskan dalam konstitusi. Dalam kerangka mewujudkan tujuan kemerdekaan secara tegas pula diatur dasarnya yakni Pancasila. Pancasila selalu dikatakan tidak terpisahkan dari UUD 1945. Artinya bahwa Pancasila menjadi sumber hukum, sumber kebijakan politik, kebijakan sosial, kebijakan ekonomi, dan kebudayaan. Pancasila adalah sumber policies dan sumber decisions.
Perkembangan politik, pertarungan antar kekeuatan politik seringkali mengabaikan apa yang menjadi platform bangsa ini, yakni Pancasila dan UUD 1945. Kerngka untuk mewujudkan misi ini adalah Pancasila. Pancasila sebagai ideologi dasar sekaligus cita-cita bangsa dalam terbentuknya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera (Masyarakat Pancasila-sosialisme Indonesia). Visi inilah yang menjadi pedoman, pengikat dan pandangan kenegaran bagi negara dan pemerintah dalam menjalankan pembangunan nasional dalam ranah aktualisasi kemerdekaan sejati.
Pergerakan Kebangkitan nasional Indonesia yang dimulai pada awal abad ke-20 berangkat dari gerakan memperjuangkan pembebasan dari ketertindasan-kolonialisme-imprialisme, berlanjut pada era gerakan kemerdekaan yang revolusioner, dan selanjutnya gerakan membangun landasan bangsa dan negara baru yang merdeka secara substantif bukan sekedar merdeka secara politik simbolik yakni nasional demokratik. Dari awal geliat Gerakan perjuangan rakyat Indonesia memiliki watak yang revolusioner,sebuah revolusi nasional. Soekarno menyatakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia adalah sebuah revolusi besar kemanusiaan yang berangkat dari Tuntutan Budi Nurani Manusia (the Social Conscience of Man).
Namun dalam perjalanan republik ini, cita-cita besar ini seringkali diselewengkan oleh pengejaran tujuan jangka pendek (pragmatismetransaksional), kepentingan mempertahanakan kekuasaaan, budaya feodal-patron-client dan diperparah hegemoni cengkeraman ideologi kapitalisme global yakni neoliberalisme dengan segala agenda dan kepentinganya untuk mempertahankan kuku penjajajahan (neoimperialisme) masih terus berlangsung. Akibatnya adalah kedaulatan negara terus terenggut, kapasitas negara untuk mengurus kesejahteraan rakyat tergerus, posisi Indonesia dimata internasional terpinggirkan dan yang lebih parah rakyat teralienasi, termarginalkan dalam proses pembangunan dan terjebak dalam bayang-bayang negara gagal (failed state).
Ironisnya, segelintir orang menikmati hidup berkecukupan bahkan bergelimang kemewahan, tetapi rakyat kebanyakan tidak pernah mendapat akses dan distrubusi kesejahteran ekonomi secara merata dan adil, Elit politik selalu menebar janji-janji perubahan kesejahteraan yang terus-menerus dihembuskan hampir tidak ada faedahnya dan seringkali menjebak dalam kebijakan yang cenderung memiskinkan secara struktural. Cukup menarik apa yang dikatakan C. Wright Mills dalam bukunya The Power Elite:
"Kekuatan orang-orang kebanyakan berkisar pada dunia kehidupanuya sehari-hari; bahkan dalam lingkungan ketja, keluarqa, dan tetangga pun mereka terpental oleh kekuatan yang tidak mereka mengerti dan arahkan. Perubahan-perubahan besar melampaui kontrol mereka, tetapi toh tidak mempengaruhi tindakan dan pandanganya. Kerangka masyarakat modern mengikatnya pada proyek yang bukan milik mereka, tetapi dari setiop sisi perubahan-perubahan itu menindih pria dan wanita masyarakat jelata, yang akhirnya mengalami posisi diri yang tidak mempunyai tujuan di dalam satu epok yang di dalamnya mereka tak berkuasa".
Era ketidakadilan global, saat inilah yang sedang dan akan berlangsung! dan imbasnya ke Republik tercinta ini. Dalam jejak rekamnya , melahirkan banyak ironi dan paradoks yang begitu luar biasa menghantam seluruh lini kehidupan kemanusian. Posisi nilai dasar dan interaksi kemanusiaan cenderung terpenjara tanpa sadar (hegemonic) oleh arus materialistik-capital oriented. Keteguhan prinsip-prinsip perjuangan (politic) keadilan kemanusiaan tersungkur dengan pragmatisme-transaksional semu atas nama rakyat dan demokrasi terejawantahkan secara prosedural tanpa ruh-esensi kerakyatan dalam penjara kebijakan pro modal (capitalism) dan anti kepentingan rakyat miskin, begitu pula pilar moralitas-budaya sebagai identitas suatu bangsa terkikis (Moral degradation) dengan atas nama budaya global-idealisme tersungkur.
Inilah yang dialami secara objektif bangsa dan rakyat Indonesia saat ini, adanya proses pemiskinan yang berkelanjutan dan berujung pada hakikat ketidakmerdekaan sebuah bangsa alias proses penjajahan masih berlangsung. Dalam bidang politik yang tidak berdaulat, dapat ditilik dari politik konstitusi kita UUD 1945 yang sudah sangat tercerabut dari ruh dan watak asli kelndonesiaan, dan lebih jauh lagi demokrasi Indonesia semakin merasuk ke jalan politik demokrasi liberal yang jauh dari amanah penderitaan rakyat dan terpenjara oleh peri hal prosedural. Begitu pula Ekonomi yang tidak mandiri dan terus tergantung, terjebak dengan Utang Najis Luar negeri, mengobral asset sumberdaya alam bangsa dan tentunya mempersilahkan kekuatan ekonomi asing dan swasta menguasai dan mengelola sumber daya alam (privatisasi) dan tentunya diiringi dengan pencabutan hak sosial rakyat, dengan mencabut subsidi secara radikal dan sembrono. Garis Ekonomi Politik yang sangat jauh dan diametral dari pilar Trisakti Kemerdekaan; Berdaulat dalam Politik, Kemandirian dalam bidang ekonomi dan Berkepribadian nasional, rezirn penguasa tidak lagi memikirkan People and National Interest, perwujudan Indonesia yang belum merdeka
Indonesia Terpenjara
Kondisi kekinian negeri ini, yang ditandai dengan tingginya angka kemiskinan, pengangguran, penjualan aset-aset stategis bangsa (privatisasi), ancaman disintegrasi bangsa, menguatnya etnonasionalisme membuat miris akan Indonesia hari ini dan esok. Gerakan reformasi yang dicanangkan sepuluh tahun lalu bercita-cita besar mernbawa perubahan di segala bidang, upaya demokratisasi dan penegakan HAM menuju Indonesia baru. Harapan gerakan reformasi saat ini tetap menjadi cita-cita yang bergantung di langit Indonesia. Reformasi mati sebelum berkembang, saat ini bukan lagi era reformasi tapi deformasi.
Restrukturasi ekonomi-penyehatan bank dan lembaga-lembaga usaha, penggelaran jaringan pengaman sosial, hanya menghasilkan utang luar negeri yang menjebak dan menggunung, terjeratnya bangsa ini dalam gurita ekonomi ultra liberal yang menyusup berdasar pengkondisian International Financial Institutons (IFI's), seperti IMF, Bank Dunia, ADB dan pelbagai lembaga bantuan lainya disisi lain membuka kepada konglomerat hitam merampok bank dan keuangan negara (BLBI).
Ironisnya semakin lantang demokrasi politik diteriakan, semakin gencarlah para politisi untuk merebut kedudukan dengan segala cara. Pemilu 2004 memang dipuji seantero jagat, tetapi yang dihasilkan Cuma bertenggernya kekuatan-kekuatan rezim lama (restorasi orde baru) dan komperador kaum imperialis.
Struktur politik masih jauh dari demokrasi, hanya sebagai arena perebutan kuasa para elit. Struktur ekonomi kita hancur berantakan. Nilai-nilai yang mestinya menuntun hidup telah kabur dan dikaburkan. Bangsa ini telah dirampok, ditindas, dan ditelantarkan oleh segelintir anak bangsanya yang rela menjadi komperador asing, sehingga mengorbankan rakyat kebanyakan sehingga menjadi miskin, terlantar, dan tak berorientasi.
Indonesia dewasa ini mengalami krisis akut yang sangat kritis, Indikasi-indikasinya sangat jelas, Kenaikan harga beras yang merupakan Bahan panganan yang sangat penting untuk seluruh rakyat Indonesia dan khususnya bagi masyarakat miskin di mana beras merupakan 24,1 % dari konsumsi mereka merupakan pukulan besar bagi rakyat kita. Saat ini tercatat sekitar 40% balita di 53 kabupaten kota se-Indonesia menderita gizi buruk. Di samping itu, harga beras yang terus melambung tinggi justeru menambah kemiskinan. Tingginya harga beras pada tahun 2005-2006 telah meningkatkan angka kemiskinan. Kenaikan harga beras sebesar 33% antara bulan februari 2005 dan maret 2006 saja telah menambah jumlah masyarakat miskin sebanyak 3,1 juta orang. Fakta lain adalah Kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM secara beruntun menjadi akar utama dari peningkatan kelesuan ekonomi dan penderitaan rakyat. Dampak dari kenaikan BBM pada tahun 2005 adalah meningkatnya kemiskinan dan pengangguran. Jumlah penduduk miskin di tahun 2005 setelah kenaikan BBM pada bulan Maret diperkirakan mencapai 62 juta dengan asumsi 15,5 juta KK yang menerima BLT. Dan setelah kenaikan harga BBM lebih dari 100% pada bulan Oktober 2005, penduduk miskin diperkirakan mencapai 120 juta, atau sekitar 50% dari jumlah penduduk. Kenaikan harga BBM adalah salah satu tuntutan dari CGI, yang tertera dalam white paper 2003, sebagai salah satu bagian dari kerangka penghapusan subsidi Negara kepada rakyat. Menaikan BBM pada 01 Oktober 2005 menambah beban ekonomi masyarakat disaat dampak kenaikan BBM pada Maret 2005 belum teratasi sehingga membuahkan inflasi. Akibatnya adalah harga-harga meningkat tidak terkendali.
Pada era rezim penguasa saat ini jauh lebih parah, beberapa kebijakannya lebih mengakomodir kepentingan komunitas kreditor dan pemodal-pemodal besar. Dalam diskusi dengan Working Group on Investment Climate CGI, pada Juni dan September 2005 pemerintah Indonesia menyatakan komitmenya untuk membuat serangkaian kebijakan tentang: Peraturan Pemerintah tentang Listrik, Jalan Tol, air, penyediaan tanah, Komite Koordinasi Percepatan Pembangunan Infrastruktur dan revisi Peraturan Pemerintah No 7/1998 tentang Partisipasi sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur. Komitmen itu telah dilaksanakan pemerintah sebagaimana disampaikan Aburizal Bakrie (Menko Perekonomiaan saat itu) dalam CGI Mid Year Review, 3 Oktober 2005 bahwa pernerintah Indonesia telah menerbitkan: Peraturan Pemerintah No 3/2005 tentang ketenaga-listrikan. Peraturan Pemerintah No 15/2005 tentang jalan Toll dan Peraturan Presiden No 36/2005 tentang penyediaan tanah untuk kepentingan publik dan Peraturan Presiden No 42/2005 tentang Komite nasional percepatan pembangunan infrastruktur. Meskipun Pemerintahan Indonesia telah membubarkan CGI dan lepas dari IMF, namun patut menjadi catatan penting, Indonesia tidak lepas dari paradigma utang luar negeri sebagai salah satu pilar pembiayaan pembangunan, bahkan pasca pembubaran CGI dan “lepas” nya IMF, Indonesia tetap mengajukan utang luar negeri sacara berkelanjutan bahkan lebih progresif terhadap negara-negara kreditor yang berawatak Imperialistik.
Komitmen-komitmen berkolaborasi dengan negara-negara kreditor dan Institusi keuangan Internasional tidak lepas dari strategi rezim penguasa untuk sekedar menjaga stabilitas dan mengejar pertumbuhan ekonomi makro dengan menggalakan investasi dan menarik investor luar masuk. Namun realitasnya hingga saat ini investor asing masih enggan berinvestasi. Sementara penggalakan investasi dalam negeri, investasi yang digerakan oleh UMKM lemah sekali. Demikian pula usaha-usaha ekonomi skala kecil dan mikro yang menyangkut hidup bagian terbesar warga biasa justru kurang diperhatikan. Catatan statistik Kementerian Negara Koperasi dan UMKM (2004) besaran unit usaha didominasi oleh sektor usaha mikro. Total unit usaha 42,452 juta, rincianya: usaha besar 2000 unit (0,00%); usaha menengah 62.000 unit (0,10 %); usaha kecil 588.000 unit (1,40 %); serta usaha mikro 41.800.000 unit (98,50 %). Keadaan yang menyedihkan justeru seluruh kebijakan dan mekanisme pelayanan pada kedua sistem ekonomi itu baik pelayanan teknis (pendidikan, infrastruktur) maupun finansial (berupa sistem kredit, pembayaran) sangat rendah. Bagi ekonomi rakyat yang 98,5% boleh dikatakan hampir tidak ada pelayanan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah PERPRES 7/12005 hanya memberi manfaat lebih besar kepada pemilik modal. Untuk pembangunan infrastruktur yang tentunya lebih diperuntukan bagi para investor besar itu, pemerintah melakukan investasi sebesar Rp. 1.303 Triliun. Sumberdaya produktif rakyat kebanyakan yang berupa lahan basah, lahan kering dan hutan juga mengalami penciutan dari tahun ke tahun. Sebagian sumberdaya ekonomi rakyat itu begitu mudah berubah menjadi pusat-pusat perbelanjaan besar dan sentra-sentra komersial di tangan perusahaan-perusahaan berskala besar yang lebih memupuk budaya konsumeris.
Dalam suasana itu masalah pengangguran semakin memprihatinkan. Dari tahun ke tahun daya serap usaha-usaha berskala besar atas tenaga kerja yang dianggap sebagai resep untuk mengatasi masalah pengangguran terus mengalami penurunan, dengan akibat jumlah penganggur malah meningkat. Meningkatnya angka pengangguran juga terkait erat dengan rendahnya tingkat pendidikan. Keadaan menjadi semakin parah, karena bukan hanya jumlah kaum miskin bertambah, tetapi juga akibat-akibat buruk lainnya meningkat, seperti putus sekolah, kejahatan, gizi buruk dan busung lapar. Dampak kemiskinan tidak hanya ditanggung sesaat, tetapi terbawa jauh ke masa depan. Dampak itu ditanggung oleh kelompok-kelompok yang paling lemah, terutama anak-anak dan perempuan.
Perempuan yang kurang gizi dan bergizi buruk akan melahirkan bayi yang tidak sehat pula. di tahun 2005, jumlah bayi yang lahir dengan kondisi berat badan rendah karena kurang gizi, misalnya, mencapai 350.000, sedangkan bayi di bawah lima tahun (balita) yang menderita busung lapar sebanyak 1,67 juta. Jumlah balita penderita busung lapar itu meningkat menjadi 2,3 juta pada tahun 2006, dan pada tahun yang sama jumlah kematian ibu yang melahirkan adalah 307 per 100.000 kelahiran. Itu berarti, di Indonesia dalam setiap 1 jam terdapat 2 ibu meninggal ketika sedang bersalin. Angka itu tiga kali lebih tinggi dari angka kematian ibu di Vietnam, dan enam kali lebih tinggi dari angka kematian ibu di Malaysia dan Cina.
Sementara dalam bidang politik, sosial dan budaya, fakta-fakta yang mencuat antara lain: terjadi sistem politik dengan individualisme dan voting (majoritarian democracy), menguatnya money politics, kekerasan horizontal akibat PILKADA, Partai politik tumbuh bagaikan jamur, otonomi daerah yang kebabalasan yang terkadang muncul dalam semangat kedaerahan yang berlebihan( ethnonasionalisme), gejala separatism, Dalam kehidupan sosial, gejalanya nampak dalam munculnya sentiment kesukuan, keagamaan, ras, dan kedaerahan.
Mazhab Penjajahan
Meluasnya krisis pada bidang-bidang sebagaimana dipaparkan di atas, tidak lepas dari dominasi dan hegemoni globalisasi neo-liberal atau sering juga disebut kapitalisme baru yang melahirkan imperialisme global. Secara ringkas, Neoliberalisme dapat dipahami sebagai sebuah paham atau agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo oeconomicus atas dimensi lain yang tidak dalam fitrah diri manusia yang homo culturalis, zoon politikon, dan homo socialis. Neoliberalisme juga bisa dipahami sebagai dominasi sektor financial atas sektor riil dalam tata ekonomi politik.
Ada dua pilar utama yang menopang sistem kapitalisme modern, yaitu pasar uang (system perbankan),dan pasar modal. Kedua pilar (sektor finansial) inilah yang memungkinkan terjadinya proses akumulasi modal yang sangat pesat. Sedemikian pesatnya sehingga tak berkaitan langsung (decoupling) dengan perkembangan sektor riil. Peningkatan kesejahteraan yang bersumber dari aktivitas di kedua pasar ini kian artifisial dan oleh karena itu mengakibatkan kerentanan di dalam perekonomian khususnya dan kehidupan umat manusia umumnya. Hal ini disebabkan oleh pola eksploitasi yang telah melampaui batas-batas negara sebagai konsekuensi dari gelombang global isasi.
Gelombang globalisasi yang melanda seantero dunia sejak decade 1980-an jauh berbeda dari segi intensitas dan cakupanya. Proses konvergensi yang kita saksikan akibat dari globalisasi dewasa ini praktis telah menyentuh hamper seluruh sendi kehidupan, yang tak saja di segala bidang (ekonomi, bisnis, budaya, politik, ideology), melainkan juga telah menjamah ke tataran sistem, proses, aktor dan agenda.
Doktrin-doktrin neo-liberal pertamakali diucapkan dalam ideology konservatif yang dijuluki "Thacherism" di Inggris dan "Reaganomics" di Amerika Serikat. Kemudian logika neo-lib disambut oleh golongan sosial demokratik dalam program "the Third Way" Anthony Giddens yang juga masih berkolaborasi dengan kapitalisme. Ide-ide neoliberal menjadi pondasi bagi kebijakan-kebijakan lembaga-lembaga internasional seperti World Trade Organization (WTO), International Monetery Fund (IMF), dan World Bank, dan program-program "reformasi ekonomi" yang diajukan oleh para politikus dan ahli ekonomi bermazhab free market.
Pilar utama ideologi neolib adalah, bahwa aparatus negara seharusnya tidak ikut berperan dalam kegiatan-kegiatan pokok ekonomi nasional maupun internasional. Kita diajak kembali ke gagasan ortodoks yang bercokol sebelum depresi tahun 1930-an, yang dianjurkan oleh Adam Smith dan dipopularisasikan oleh Jean-Baptise Say. Gagasan ini kala itu dikenal sebagai "liberalisasi ekonomi". Versi barunya dikenal dengan nama "neo-liberalisme". Para penyokongnya mau menurunkan pajak dari profit-profit kapitalis dan gaji tinggi, menjual BUMN kepada pihak swasta dengan alasan efesiensi-efektifitas dan profesionalisme, melemahkan regulasi-regulasi yang mengurusi tindakan perusahaan-perusahaan, serta menghapuskan semua proteksi ekonomi yang dilakukan melalui bea cukai. Menurut argumentasi mereka, segala intervensi pemerintah di dunia ekonomi semenjak tahun 1930-an hanya mengakibatkan industri-industri menjadi pemboros yang tidak efisien. Ambruknya blok soviet. serta kemandegan dan kesengsaraan Amerika selatan dan Afrika, menurut mereka telah membuktikan betapa celakanya konsekuensi intervensi pemerintah. Kemiskinan di dunia ketiga halya dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan pasar bebas yang tak kenal ampun, melalui kegiatan WTO, IMF dan Bank Dunia.
Penjajahan Global
Dinamika ekonomi politik Internasional, sampai saat ini sangatlah tidak bisa lepas dari kompleksitas interest conflict antar negara bangsa (state actor), interest capital and profit Multi National Corperations (MNC's) hingga non state actor lainnya (NGO's dan interest players). Adapun posisi kontemporer pada era saat ini, dominasi negara (state led development) secara radikal digeser oleh dominasi pasar bebas (market driven development), yang dalam beberapa dekade terakhir seringkali menjadi perdebatan yang sangat krusial dan memunculkan konsekwensi-konsekwensi logis terhadapa sosial-ekonomi politik dan budaya dunia.
Pergeseran relasi dunia Internasioanal yang didominasi mazhab free market-neoliberal-optimum pareto dengan asas laissez faire-nya mengundang banyak kontroversi baik dari teori hingga ketimpangan kebijakan yang diterapkan oleh unholy trinity-rezim kapitalisme intemasional; International Monetary Fund (IMF), WorldBank dan World Trade Organiztioan (WTO) yang tidak lebih merupakan lokomotif dan perangkat hegemoni kepentingan negara-negara industri maju yang menindas,merampok dan mengeksploitasi secara brutal sumber daya alam "negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia (exploitation de nation par nation).
Menurut Roxborough (1986), teori imprealisme yang terlahir dari rahim kapitalisme, memberikan perhatian utama pada ekspansi dan dominasi kekuatan imperealis. Imperialis yang ada pada abad 20 pertama-tama melakukan ekspansi cara produksi kapitalis ke dalam cara produksi kapitalis. Tujuan ekspansi tersebut ke negara ketiga pada mulanya hanyalah untuk meluaskan pasar produknya yang sudah jenuh dalam negeri sendiri, serta untuk pemenuhan bahan baku. Namun, pada pekembangan lebih jauh, ekspansi kapitalis ini adalaah berupa cara-cara produksi, sampai pada struktur ekonomi, dan bahkan idelologi-budaya.
Bukti konkrit dominasi keuntungan oleh negara-negara maju terhadap Negara berkembang dan dunia ketiga dalam relasi ekonomi politik internasional, dapat dilihat dari seringkalinya negara-negara maju menggunakan lembaga Internasional (unholy trinity) seperti dalam bidang investasi pembangunan dunia melalui kedok Bank Dunia (World Bank), bidang keuangan moneter internasional dengan IMF dan bidang perdagangan melalui World Trade Organization (WTO).
Hal ini dapat dilihat misalnya dari struktur keanggotaan dalam 184 negara anggota Bank Dunia, 150 negara berkembang di antaranya hanya memiliki kekuatan suara 33%. Sementara itu 34 negara maju di dalamnya memiliki kekuatan suara sebesar 67% suara hal ini menunjukkan dominasi struktur kepemilikan saham Bank Dunia, maka tidaklah mengherankan kebijakan yang lahir dari Bank Dunia, tidak lebih laksana koorporasi raksasa yang melahirkan kebijakan "memfasilitasi" kepentingan pemegang saham terbesar. Mulai dari struktur kebijakan hingga penunjukan perusahaan rekanan Bank Dunia yang memiliki afiliasi terhadap negara maju.
Kebijakan penerapan pemberian utang berkedok bantuan luar negeri berupa proyek pembangunan maupun program kebijakan seringkali digunakan sebagai kontrol ekonomi dan politik negara maju terhadap negara penerima bantuan, hal ini dapat dilihat dari penerapan kebijakan Bank Dunia yang cenderung mendorong deregulasi, pencabutan subsidi ranah publik, perluasan pasar bebas, non proteksi, liberalisasi perbankan, regulasi dan liberalisasi birokrasi dan konstitusi (berbungkus program good governance) yang kesemuanya merupakan penerapan prinsip Washingthon Consensus.
Kebijakan Moneter internasional yang dilakukan oleh IMF pada krisis yang menerpa mexico dan Amerika Latin hingga krisis Keuangan Asia pada akhir tahun 90' an, yang dalam hal ini Indonesia mengalami krisis terparah, dapat dijadikan contoh sangat relevan, bagaimana peran-peran negara maju (Amerika, Uni Eropa dan Jepang sebagai pemegang saham mayoritas IMF) mendorong kebijakan liberalisasi segala sektor. IMF dengan resep "mujarab" yang mematikan. Resep Structural Adjustment Program (SAP) atau dapat juga disebut sebagai program liberalisasi seluruh lini sektor-minimalisir peran negara, SAP diterapkan oleh IMF untuk atasi krisis moneter yang berkembang secara membabi buta, hingga menyebabkan krisis yang semakin berkelanjutan.
Secara umum, program penyesuain struktural (SAP) tersebut terdiri dari beberapa elemen. Pertama, pengurangan secara radikal pengeluaran pemerintah atas biaya kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan (pemotongan subsidi). Kedua, privatisasi dan deregulasi perusahaan-perusahaan negara. Ketiga, devaluasi mata uang. Keempat, liberalisasi impor dan menghaspuskan hambatan-hambatan yang membatasi investasi asing. Kelima, memangkas upah dan menghapuskan atau melemahkan mekanisme-mekanisme perlindungan tenaga kerja.
Penerapan SAP oleh IMF, diawali dengan pemberian suntikan dana moneter, salah satunya melaui mekanisme Utang Luar Negeri. Ketika Indonesia dan negara-negara miskin dan berkembang lainnya mengalami krisis ekonomi pada tahun 1990-an, pemerintah Amerika Serikat bekerjasama dengan pemerintah dari Negara-negara maju lainnya, menekan negara-negara berkembang untuk masuk ke dalam paradigma pasar bebas sebagai sebuah kondisi atau syarat untuk mendapatkan pinjaman atau utang.
Meskipun negara-negara berkembang tersebut menyadari bahwa kondisionalitas dalam bentuk structural adjustment program (SAP) tersebut merupakan sebuah bentuk baru dari imprialisme kapitalis, namun mereka tidak memiliki pilihan lain dan pemikiran dari para perumus kebijakan telah terkonstruksi oleh gagasan neoliberal ini, maka mereka harus mengikutinya jika ingin mendapatkan utang dengan dalih untuk pembiayaan pembangunan dan mencapai pertumbuhan. Dalam proses ini IMF berperan sebagai lembaga yang mengawasi dan rnemastikan diterapkannya kebijakan-kebijakan tersebut, dan Bank Dunia melakukan dorongan diberlakukannya reformasi serupa melalui kedok utang atau pinjaman yang dikondisikan untuk melahirkan kebijakan berorientasi kepada program penyesuaian struktural, dalam bentuk liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.
Dalam konteks ke Indonesian terhitung sejak 1950, pemerintah Indonesia memiliki dua jenis utang, yaitu utang luar negeri warisan pemerintah Hindia Belanda sebesar USS 4 miliar dan utang luar negeri baru sebesarRp. 4,5 miliar, pada era Soekarno utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar USS 6,3 miliar, pada saat kejatuhan Soeharto, jumlah utang luar negeri Indonesia membengkak menjadi USS 54 miliar. Prestasi besar dicatat oleh pemerintahan Habibie. Dalam tempo dua tahun, pemerintahan Habibie berhasil menambah utang luar negeri Indonesia sebesar 23 miliar dollar AS menjadi USS 77 miliar. Penambahan utang ini terus berlanjut sampai ke pemerintahan berikutnya. Maka tidak heran kalau akhirnya pembayaran utang luar negeri Indonesia terhadap lembaga Keuangan Internasional (World Bank, Asia Develoment Bank (ADB), IMF dll) dan Negara-negara kreditor yang notabene negara maju menyedot hampir 27-30% dari APBN hingga hari ini.
Karakteristik utang luar negeri yang dipenuhi oleh beragam kondisionalitas, pemenuhan kondisi oleh pemerintah di negara pengutang dalam rangka memperoleh tambahan dana untuk menutup defisit neraca pembayaran dalam bentuk kebijakan liberalisasi, privatisasi, dan pemotongan subsidi yang pada dasarnya lebih mencerminkan kepentingan negara kreditor, dan karakter utang yang bersifat elites alliance, kolaborasi antar elit dalam mekanisme pertanggungjawaban antar elit dan bukan kepada rakyat, telah berujung pada semakin terpuruknya kehidupan rakyat
Kritik Progresif
Dalam perspektif paham strukturalisme, baik strukturalisme awal maupun neostrukturalisme, adanya konsepsi menolak ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan sosial-ekonomi. Ketimpangan-ketimpangan struktural yang menyangkut pemusatan, penguasaan dan pemilikan aset dan sumber ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan, produktivitas dan kesempatan ekonomi, serta ketimpangan-ketimpangan dalam kelembagaan pemerintah, partisipasi dan emansipasi sosial-ekonomi, kemiskinan dan pengangguran struktural, merupakan pusat perhatian dan kepedulian kaum strukturalis.
Apabila strukturalisme cenderung menolak mekanisme pasar-bebas adalah karena pasar bebas seringkali mengakibatkan ketidakadilan relasi sosial-ekonomi suatu negara bangsa, yang seringkali diakibatkan oleh dominasi dan hegemoni negara-negara maju.
Inilah yang kemudian menjadi daya kritik kaurn strukturalis, ketika melihat Free market Neoliberal sebagai mazhab ekonomi politik Internasional Negara-negara maju melakukan proses dominasi global, yang akhirnya menyebabkan gaps antara kelas elit, menengah hingga rakyat bawah dalam jurang kemiskinan yang dalam. Maka tidaklah heran, jika ungkapan Frank (1984) mengumpamakan hubungan negara-negara industri Barat dengan non-industri dunia ketiga sebagai rangkaian hubungan dominasi dan eksploitasi antara metropolis dengan satelit-satelitnya. Ketergantungan Negara berkembang terhadap Negara maju sangatlah begitu kuat, pemaksaan dan penerapan mazhab strategi substitusi import yang cenderung memaksa negara berkembang dan dunia ketiga mengekspor raw material terhadap negara maju dan menerima limpahan paksa produk pasar dan masal dari negara maju, baik teknologi maupun material perindustrian.
Setidaknya strukturalis mencoba melihat secara progresif dari sudut pandang negara berkembang dan dunia ketiga. Tujuan ekspansi, dominasi dan hegemoni tersebut ke negara ketiga pada mulanya hanyalah untuk meluaskan pasar produknya yang sudah jenuh dalam negeri sendiri, serta untuk pemenuhan bahan baku. Namun, pada perkembangan lebih jauh, ekspansi kapitalis ini adalah berupa cara-cara produksi, sampai pada struktur ekonomi, dan bahkan idelologi dan budaya.
Struktur ketergantungan secara bertingkat mulai dari negara pusat sampai periferi disampaikan oleh Galtung (1980). Imperialisme neoliberal ditandai satu jalur kuat antara pusat di pusat dengan pusat di periperi (cC-cP). Asumsi ini berdasar teori ketergantungan (dependensia), yang menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan negara ketiga, utara selatan), dan kondisi ketergantungan adalah anti pernbangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan dan tidak lebih merupakan bentuk imperialisme baru. Keterbelakangan adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem standarisasi Negara maju penganut capitalism-Neoliberal.
Karakteristik struktur ekonomi lnternasional tersebut, memungkinkan negara yang memiliki power yang dominan untuk menciptakan aturan-aturan yang mengendalikan aktifitas-aktifitas ekonomi internasional dalam rangka memenuhi kepentingan-kepentingan yang dimilikinya. Sebagai akibatnya terciptalah pola hubungan yang bersifat asimetis di antara negara hegemon dengan negara lainnya, yang berujung pada ketergantungan negara dunia ketiga kepada negara hegemon, baik itu dari segi ekonomi maupun politik, bahkan tidak jarang perubahan pada struktur domestik sebuah negara yang tergantung ditentukan oleh pola hubungan yang asimetris tersebut.
Bahkan secara ekstrim John Gallagher dan Ronald Robinson dalam artikelnya "The Imprialism of Free Trade", menulis bahwa cara seperti inilah yang disebut "kebijakan penjajahan". Kebijakan itu misalnya kini disebut: "penciptaan ekonomi terbuka, privatisasi, proteksi hak-hak investor luar negeri, aturan tentang ekspor bahan mentah,dll. Semua strategi ekonomi ini, biasanya diterapkan IMF pada negara peminjam dan akrab dengan telinga kita di Indonesia yang sudah terperangkap strategi "The Imperealism ot Free Trade" Amerika Serikat.
Realitas hegemoni kebijakan ekonomi politik negara maju melalui lembaga Internasional, cenderung memiskinkan rakyat negara dunia ketiga. Beban pembayaran utang dan dampak liberalisasi dan pencabutan subsidi ranah public sector yang berikat langsung dengan rakyat bawah seperti liberalisasi pendidikan, privatisasi), jasa (kesehatan dan pendidikan) dan liberalisasi pertanian menyebabkan pemiskinan terjadi semakin progresif. Pemiskinan ini didorong terhadap ketergantungan dan hegemoni Negara-negara maju yang dikondisikan dalam struktur sistem kebijakan Negara dunia ketiga yang tidak lagi pro terhadap rakyat, dan peran Negara sekedar fasilitator tidak lagi sebagai regulator yang proteksionis (mensejahterakan).
Maka jelas apa yang dikemukakan oleh Raul Prebisch, pada dasarnya sistem ekonomi Internasional itu mengalami bias secara struktural yang lebih condong pada negara-negara industri dan berlawanan dengan kepentingan-kepentingan perkernbangan dunia Selatan. Dampak dari liberalisme ekonomi adalah untuk -mempertahankan dan memperkuat posisi negara-negara industri yang dominan, yaitu Negara-negara yang berada di pusat sistem, dan untuk melanggengkan ketergantungan dunia terbelakang pada kebijakan-kebijakan ekonomi politik mereka.
Demikian pula yang diungkapkan Willian K.Tabb, secara lebih luas free market-neoliberal-imprialisme, juga melibatkan pengambilalihan kontrol ekonomi dan politik atas wilayah dan masyarakat lain, baik dengan kekuatan militer maupun dengan cara-cara yang lebih halus adalah persoalan kebijakan dan praktik negara untuk memperluas kekuasaan dan dominasi, sering kali dengan menggunakan cara-cara ekonomi. Apresiasi terhadap hakekat kapitalisme sebagai sistem dunia dimana negara pusat memanfaatkan kekuasaan atas wilayah pinggiran, saling untuk memperoleh pengaruh dan kontrol, dan bekerjasama untuk menjadi yang terbaik, dengan menggunakan cara apapun.
Wajar kiranya kaum strukturalis mulai menggunakan istilah-istilah keras untuk menyentak mind-set neoklasikal, seperti "turbo capitalism", "greedy capitalism", "new imperialism", "the dangerous currents", "the winner-takes-all market", "the zero-sum society" dan "the winner-takes-all society", dst. Jan Tinbergen mengatakan kepada saya (1992) bahwa lobang ozon makin besar karena kelakuan "the greedy capitalism". Lebih lanjut Tinbergen mengatakan bahwa "the limits to growth".
Dari realitas ini menunjukkan, Negara-negara maju (antagonist state) dalam frame strukturalis benar-benar mendominasi, mengkondisikan ketergantungan dan menyebabkan pemiskinan yang berkelanjutan pada negara berkembang dan dunia ketiga. Kebijakan free market--Neoliberalisme yang segaris dengan globalisasi sekedar kepentingan total negara-negara dan Kita perlu mengingat pula yang dikatakan oleh Henry Kissinger (Trinity College, 1998), bahwa "globalisasi adalah nama lain dari dominasi Amerika Serikat." Friedman mengatakan "culturally speaking, globalization has tended to involve the spread (for better or worse) of Americanization."
Sudah saatnya kita mencoba mengambil jalan alternative progresif yang lebih populis, rnenghadang kerakusan neoliberal-kapitalis, setidaknya dalam pandangan strukturalisme, peduli akan harkat manusia dalam lingkup moralitas ekonomi. Strukturalisme menolak homo economicus yang melahirkan akhlak homo tiomini lupus, menolak eksploitasi dan proses pemiskinan (impoverishment) sosial-ekonomi.
Cengkraman Neoliberalisme, hanya biasa dilawan dengan alternatif kekuatan solidaritas persatuan nasional yang berbasiskan populisme dus popular movement dan kearifan profetis. Persatuan nasional dengan ruh demokratik popular menjadi syarat mutlak. Kebangkitan dan pembebasan dari Rezim internasional dan subordinasi Imprialisme mesti dibendung dengan nasionalisme demokratik popular dalam sektor politik, dalam sektor ekonomi, kekuatan koperasi sebagai pengejewantahan demokrasi ekonomi, kekuatan ini dapat digunakan sebagai pilar counter culture terhadap sistem neoliberalisme. Saatnya giat gerak berkelanjutan dalam program aksi perjuangan yang demokratik, dan kaum muda sebagai pelopor perubahan ! bukan sekedar nasionalisme elitis-status quo yang sarat dengan basa basi dan jargon.
Ideologi Perlawanan
Realitas objektif menunjukkan bahwa paham neoliberalisme dengan agenda pokoknya privatisasi, liberalisasi pasar, pencabutan subsidi bagi kebutuhan dasar rakyat, deregulasi sektor keuangan dan perbankan, bergesernya konsep kebaikan bersama (social market) menjadi tanggung jawab individu (free market) membawa implikasi yang amat serius bagi keadilan sosial atau kesejahteraan umum, dimana dua hal tersebut yang menjadi tujuan utama pembentukan republik.
Melawan hegemoni neoliberalisme, perlu dilawan dengan kekuatan lawan ideologi yang cukup progresif, nasionalistik, kerakyatan dan bersendikan ruh jiwa dan watak asli bangsa Indonesia. Ideologi ini mesti secara komprehensif mengikat spirit, dasar konsepsi kenegaraan, mengikat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang sangat bhineka ini, dan kesemuanya ada dalam Pancasila sebagai ideologi asli bangsa dan negara ini.
Pancasila sebagai Ideologi negara dan bangsa, adalah sebuah hasil transformasi progresif dari para founding fathers yang masih relevan bahkan terdepan di era peradaban modern saat ini. Pancasila sejatinya mengandung watak; anti kapitalisme, anti penjajahan, anti feodalisme, anti imperialisme, anti diktatorisrne, dalam segala bentuknya. Hal yang kontradiktif dengan Neoliberalisme yang tidak menjadikan keadilan sosial kesejahteraan rakyat sebagai tujuanya, melainkan akumulasi kekayaan individu.
Pancasila bercirikan antara lain: Berketuhanan (watak asli spiritual bangsa Indonesia) membela yang tertindas, cinta kemerdekaan, cinta persatuan dan perdamaian, cinta keterbukaan, menjunjung tinggi patriotisme dan keadilan sosial. Secara ideologis, Pancasila tetap mempunyai tujuan untuk menghilangkan menghapuskan sistem feodalisrneI neofeodalisme, kapitalisme dengan penghisapan brutalnya, liberalisme dengan kekuatan kepentingan individu, serta imperialisme/neoimperialisme dengan segala penindasannya.
Pancasila sebagai ideologi perlawanan dari ketidakadilan global, memang mengalami reduksi dalam sejarah kenegaraan, seringkli Pancasila secara konsepsional, dikhianati oleh rezim penguasa, namun lebih parah lagi dalam pasca era reformasi, Pancasila sebagai ideologi negara, tersungkur dengan bebas masuknya ideologi yang sektarian dan internasionalis. Pancasila sebagi konsepsi ideologi yang dinamis, progresif dan visoner, harus tergerakkan dan membumi, hal ini menuntut adanya totalitas dan komitmen dari seluruh anak bangsa ini. Pancasila akan hanya menjadi sekedar menjadi symbol manis, ketika tidak dilaksanakan dalam tata sistem ekonomi-politik dan budaya secara riil dan realistis. Perlu adanya revitalisasi dan pembumian konsepsi, nilai dan kelstiqomahan melaksanakan pancasila dalam seluruh lini kebangsaan.
Melawan dominasi kapitalisme neoliberal harus dimulai dari budaya asli bangsa Indonesia dengan pendekatan Pancasila (multikulturalis) sebagai konsepsi perjuangan total, dimana persatuan kekuatan nasional bukan dengan menyatukan budaya lokal dalam kesatuan keseragaman budaya yang terkoptasi oleh negara, tapi kekuatan budaya lokal (local wisdom) dijadikan sebagai pilar penguatan budaya kepribadian dan persatuan nasional. Disisi lain Pengertian budaya disini, sebagai nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi di dalam masyarakat Indonesia yang tergambar secara garis ideologis dalam Pancasila. Pengalaman kita sebagai bangsa dalam melakukan perlawanan terhadap segala macam bentuk penindasan baik oleh kekuatan kolonialisme-imperialisme maupun feodalisme, bisa dilacak dari sejak perjuangan untuk merebut kemerdekaan yang secara simbolik dimulai dengan kebangkitan nasional pertama tahun 1908 hingga tahun 1945. Negeri ini dibangun atas dasar sikap anti penindasan, anti kolonialisme, anti kapitalisme, anti imperialisme dan anti feodalisme.
Budaya perlawanan dalam Pancasila, secara aktual seiiring pula, menghadirkan nilai-nilai, sikap-sikap yang selalu hidup-menghidupi dalam api semangat bangsa ini yakni; gotong royong, solidaritas, semangat persatuan, menjunjung tinggi keadilan, kesederajatan, hubungan antar bangsa yang dilandasi saling pengertian, toleransi, tanpa penindasan, dominasi atau hegemoni bangsa atas bangsa, manusia atas manusia lainya.
Soekarno menyatakan bahwa perjuangan bangsa Indonesia adalah sebuah revolusi besar kemanusiaan yang berangkat dari Tuntutan Budi Nurani Manusia (the Social Conscience of Man), dan akan dilaksanakan melalui tiga tahapan yang revolusioner, yaitu, pertama; mencapai Kemerdekaan Penuh, artinya bangsa Indonesia, seperti halnya bangsa-bangsa lain di dunia, akan berdiri tegak sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, berdasarkan tiga prinsip (trisakti) kemerdekaan: berdaulat di bidang politik; berdikari di bidang ekonomi; berkepribadian di bidang kebudayaan, kedua, melalui gerbang kemerdekaan itu, mendorong terjadinya kekuatan nasional demokratik yang terikat dalam satu misi dan visi kenegaraan, serta melihat negara sebagai machorganisatie (alat perjuangan) yang secara progresif dan visoner akan dibangun Sosialisme Indonesia (Masyarakat Pancasila) di dalam negara kesatuan yang demokratis, sebuah masyarakat gotong royong-adil-makmur material dan spiritual dalam suatu kehidupan bangsa yang beradab, ketiga, untuk menjaga tegaknya Kemerdekaan Penuh dan tetap terselenggaranya Sosialisme Indonesia, harus dibangun tata kehidupan dunia baru yang adil dan beradab berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Masyarakat dunia yang saling menghormati, kesetaraan dunia baru tanpa ada penindasan bangsa atas bangsa maupun manusia atas manusia (exploitation de l'homme par l'homme).
Penjelasan tentang sosialisme Indonesia dapat diikuti dari amanat, pidato dan manifesto politik Bung Kano. Misalnya, pada rapat pleno DEPERNAS tanggal 28 Agustus 1959, BK dalam Amanat Pembangunan menjelaskan dasar dan tujuan pembangunan, yakni : membentuk masjarakat adil dan makmur berdasarkan ajaran Pancasila dengan melaksanakan Pembangunan. Adil dan Makmur menurut Pancasila itu dinamai juga Sosialisme ala Indonesia. Jadi mewujudkan masysarakat sosialis Indonesia ialah dasar dan tujuan Pembangunan Semesta-Berencana bangsa ini.
Namun kita perlu menyadari bahwa logika elit dan rakyat kebanyakan berbeda. Elit tidak peduli dengan masa depan negara-bangsa Indonesia yang adil buat semua, tapi rakyat kebanyakan tetap peduli. Maka dari itu, para nasionalis, patriot, kaum buruh, tani, nelayan, pedagang asongan, pemuda, mahasiswa dan seluruh marhaen harus bersatu untuk memerdekakan Indonesia kembali. Sembari menyitir perkataan Bung Karno “..Masjarakat sosialis Indonesia harus kuat dan bertenagao menentang setiap penindasan atau penghisapan individu oleh individu atau golongan, setiap penindasan atau penghisapan golongan oleh golongan atau individu, baik jang berbentuk imperialisme maupun feodalisme karena aliran2 tersebut diatas sepandjang masa telah membuktikan mendjadi penghalang jang terbesar bagi terlaksananja suasana adil dan makmur dikalangan masjarakat jang didjadjah atau jang diperintah...".
Disinilah letak kebutuhan bersama dalam membangkitkan, memerdekakan dan membangun kembali Indonesia tidak lain mesti kembali kepada ideologi bangsa yakni Pancasila dan mengembangkan kehidupan budaya yang telah berkembang dari masa kebangkitan nasional yakni revolusioner. Revolusi Indonesia pada dasarnya adalah suatu perjuangan untuk menghapus segala macam penindasan atau perbudakan baik yang dilakukan oleh kekuatan asing maupun bangsa sendiri.
Syarat untuk itu adalah adanya persatuan dan kesatuan seluruh kekuatan revolusioner (Sumen bundeling van alie revolutionaire krachten) diantara berbagai sektor rakyat tertindas (marhaen) dalam tata ekonomi-politik yang berkembang seperti buruh, tani, pengusaha nasionalis-patriotik, nelayan, pedagang asongan, pegawai-pegawai kecil atau rendahan, para mahasiswa dan pemuda umumnya. Kekuatan-kekuatan ini mesti bersatu untuk melancarkan revolusi nasional.
Amanah Kaum Muda
Kondisi pasca bergulirnya reformasi (1998), membawa Indonesia semakin terjun bebas dalam kebangkrutan dan di ambang negara gagal (failed state), akibat kondisionalitas neoliberal yang semakin hari semakin hegemonik. Kondisi terjajah yang lebih parah dari masa revolusi kemerdekaan 1945, keterjajahan tanpa perlawanan ! sangat ironis ! Bukan reformasi yang salah, tapi ketidaksiapan secara massif kaum intelektual dan pergerakan nasionalis-patriotik organik dalam menghadapi transisi kekuasaan, sehingga muncul euphoria, konflik elit dan dari dalam dan intervensi kekuatan Imprialisme secara tanpa sadar telah memposisikan dan menkonstruksikan Indonesia sebagai negeri yang secara esensif tidak berdaulat, bergantung, terkikis martabat jati diri budaya bangsanya dan terjebak dalam prosedur-prosedur demokrasi yang sangat western liberalistic, Metode dan strategik kaum Imprialis lebih maju, bahkan sudah jauh masuk menghantam, menusuk dan meracuni nilai dasar kebangsaan kita (liberalisasi Undang-undang dasar),disisi lain kaum "patriotik-aktivis" nasionalis terus tersegmentasi dalam konflik pragmatik, yang memang sengaja diciptakan kondisi ini, agar tetap terpecah-pecah dalam konflik remeh temeh dan merebaknya kolaborasi sahwat kuasa ilutif elit politik dan pimpinan nasional!
Namun, Sejarah Bangsa ini, telah mencatat peran kaum muda sebagai garis pelopor (popular front) dalam merebut kemerdekaan, menjebol tirani penjajahan, memperjuangkan nilai-nilai keadilan serta pembelaan terhadap kaum tertindas (marhaen/mustadzafiin) dari era kebangkitan nasional (1908). Sebuah proses sejarah yang cukup fenomenal, orisinil, aktual dan progresif dalam lembar sejarah bangsa yang melahirkan konsekwensi keberlanjutan tugas sejarah bagi kaum muda Indonesia di setiap masa, namun mampukah kaum muda Indonesia berhadap, bangkit dan mengembalikan kedaulatan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilaan sosial, menjadi kembali milik rakyat, bangsa dan negara ini?
Kaum muda dalam sejarah bangsa ini, secara fitrah memiliki watak moral pembelaan terhadap ketidakadilan sosial dan diberkahi blessing of God-sensitivitas dalam perjuangan politik pembebasan serta merta merebut kekuasaan dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan . Kaum Muda Indonesia dalam era gerakan baru, harus dapat mendorong spirit nasionalisme yang positif, yakni bukan sekedar menjebol tirani tapi juga membangun secara konsepsi dan riil republik tercinta secara progresif dengan watak keadil.an.
Kesadaran moralitas sosial dan perjuangan politik, tidak dapat dipisahkan. Moral force semata hanya akan melahirkan sikap-sikap reaksioner dan tidak berkelanjutan. Begitu pula political struggle an sich seringkali menjerumuskan kaum muda dalam giat politik pragmatis-terseret konsesus elitis yang cenderung anti sosial dan anti keadilan. Perjuangan moral dan politik merupakan kesatuan dinamis yang berfaedah memberikan kritik-otokritik dalarn perjalanan perjuangan yang berkelanjutan.
Kapal Perjuangan
Keberlanjutan perjuangan mensyaratkan adanya kesadaran dan persatuan kolektif yang terkelola secara sistemik untuk menjalankan capaian misi-visi. Disini organisasi perjuangan lahir, sebagai kesadaran dan kebutuhan bersama serta tanggung jawab social kemanusian (zoon politicon > human response > solidarity) untuk menggalang rasa kebersamaan, rnenghargai keberagaman, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat. Organisasi bukan semata wadah yang statis, namun merupakan motor laju gerak yang dinamis (leidstar), ada proses arungi gelombang badai samudera, serta arah capian labuhan akhir.
Disisi lain kesadaran personal yang bergerak dan dibangun secara individual, meskipun memiliki hasrat pembelaan, mempunyai fitrah kepedulian dan mendorong terjadinya perubahan lebih baik, daya gerak secara personal (individual action), cenderung melahirkan pribadi yang anti sosial, tidak mampu merasakan keberagaman, mempersempit cara berpikir dan tidak mampu merasakan pahit getirnya ketimpangan sosial, bahkan seringkali terjebak dan terbatas pada aktualisasi diri personal yang semu, dan yang utama giat personal an sich secara umum tidak memiliki daya kekuatan politik perubahan serta apalagi keberlanjutan perjuangan programatik.
Ikatan kesadaran, disiplin dalam program perjuangan, komitment dan integritas personal dan cita-cita kolektif yang di organisir, akan memiliki daya kekuatan dari seluruh lini yang dihimpun. Kekuatan ini akan saling integratif dan dinamis.
Keberagaman, kedewasaan dan membangun budaya terobosan progresif, hanya dimungkinkan dilakukan secara kolektif. Ada intersubyektivitas, pergumulan emosi, perilaku serta interaksi logika intelektual dan bersatunya potensi individu yang bermakna terbangunnya kekuatan kolektif. Narnun Kolektifitas pun tanpa disertai program gerak sistematik, berkelanjutan dan terikat komitmen ikhlas kesadaran perjuangan, hanya akan melahirkan gerombolan petualang yang hanya akan melahirkan perubahan bayangan semu (psuedotic movement)
Menjawab realitas hegemoni kapitalisme, yang telah telak memenjarakan peran negara yang mestinya melayani rakyat, mendorong kesejahteraan dan bertanggung jawab terhadap terwujudnya keadilaan sosial, alih-alih malah menjebak dengan sekedar menjadi fasilitator kepentingan kekuatan modal dan terus melakukan perselingkuhan dengan briokrat-elit politik yang status quo, tidak bervisi dan jauh dari nilai moralitas. Konsekwensi yang terjadi dan akan terus terjadi, semakin kokohnya kekuatan kapitalisme yang imprialistik serta keniscayan terpingirnya kepentingan rakyat banyak.
Kondisi objektif diatas, memerlukan sebuah era terobosan gerakan baru kaum muda Indonesia, lahirnya Gerakan Mahasiswa Pemuda Indonesia (GMPI), sebagai upaya terobosan progresif dari stagnasi organisasi pergerakan kaum muda mahasiswa Indonesia yang telah hadir dan gagal melanjutkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. GMPI sebagai kapal penggerak yang dinamis, menggembleng kaum muda Indonesia untuk melahirkan kader intelektual gerakanyang militan-cendikia berbasis perjuangan rakyat serta memiliki totalitas pengabdian
terhadap kepentingan bangsa dalam seluruh lini kehidupan menuju kesejahteraan dan keadilan social (sosialisme Indonesia) yang dirahmati Tuhan Yang Maha Esa.
Sosok Kader GMPI mesti mampu menjawab problematika masyarakat yang komplek dan akut, memecahkan problematika rakyat, mesti memiliki hasrat dan kemauan hidup bersama rakyat, belajar mengenali dan merasakan penderitan rakyat, menghirup desah nafas rakyat dan selalu bergumul dengan dinamika rakyat, sehingga dapat berpikir dengan logika rakyat. Teori akedemis dan konsepsi perjuangan dan pembebasan rakyat tertindas tidak sekedar jargon, tapi mampu menjadi paradigma sosial kerakyatan yang membumi. Ibarat kapal yang terus mendinamisir, bergerak, melaju dan mampu melakukan kendali kontrol hingga sampai labuhan tujuan (cita-cita perjuangan).
Organisasi Gerakan dalam konteks kekinian, lebih banyak menghadapi persoalan yng lebih kompleks, problematika sosial cenderung lebih pragmatis-matrialistik, dan secara politik, lebih berorientasi untuk kekuasaan an sich, bukan politik sebagai alat melayani rakyat. Disini GMPI harus menjawab tantangan ini. GMPI harus menjadi kekuatan pelopor yang mendobrak stagnasi gerakan dan pendorong konstruksi progresif, apalagi Indonesia secara objektif saat ini terhegemoni kekuatan neo-imperialisme artinya, menjadi gerakan pelopor, perlu memahami dan meyakini konsepsi-konsepsi teori aksi revolusioner, landasan gerak radikal yang etis-natural dan berbasiskan garis massa aksi sebagai ruh perjuangan kerakyatan. Ini menuntut adanya sikap total partisipatoris kerakyatan dan organisasi harus mampu mengelola dinamika objektif yang terjadi dengan advokasi langsung tanpa sekat. Imperialisme dalam wadah neoliberalisme, hanya mampu dijawab dengan kekuatan konsolidasi nasional, dus kebangkitan nasional secara ideologis dan kebijakan yang bersifat national interest dan pro rakyat. Disinilah peran GMPI harus mampu sebagai pendobrak bahkan inisiator pengontrol, pendorong kebijakan penguasa agar lebih popular pro kerakyatan.
Labuhan Perjuangan
Menjadi sebuah keniscayaan, dimensi pergerakan sosial, dalam konteks kekinian harus mampu melakukan absorbsi penyesuaian secara objektif. Pergerakan perubahan acapkali, berbicara dengan logikanya sendiri, tanpa mencoba santun dan dealektis dengan ranah dan tatanan sosial yang telah, sedang dan trend arah keberlanjutannya. Bahkan seringkali memaksakan dengan klaim bahasa ideologis melakukan penetrasi secara berlebih dalam masyarakat sehingga yang timbul kontradiksi dengan capaian tujuan mulia pergerakan sosial dengan basis ideologis yang luhur.
Disisi lain pergerakan kapitalisme dengan basis power materialismenya dan bumbu bayangan kebebasan palsunya mampu membius dan membangun ketergantungan akut dan cenderung mampu menggiring, menkondisikan dan membuat struktur sosial yang lebih efektif di tengah masyarakat. Kapitalisme mampu membawa ranah kebebasan pseudotik, meski akhirnya ranah esensi kearifan sosial tercrabut dari akarnya, membawa ke alam liberal dengan mazhab material.
Kesadaran dan semangat perjuangan mesti dibarengi kecerdasan kompleks melihat kondisi objektif yang telah, sedang dan akan terjadi di tengah massa rakyat (prophetic-perjuangan suci). Kader terpilih melaksanakan tugas-tugas sosial dan pencerahan dan pemberdayaan diri dan rakyat. Perjuangan dan perlawanan hanya mampu dilakukan secara terorganisir dan membangun kekuatan bersama dengan seluruh kekuatan potensi progresif anak bangsa. Perjuangan adalah proses pencerahan giat sosial untuk meraih pembebasan dan keadilan sosial, GMPI mesti mampu merajut kekuatan dan melakukan aktualisasi kader dalam seluruh ranah lini kehidupan berbangsa.
GMPI, sebagai organisasi perjuangan dan pembinaan kader dalam kondisi hegemoni neoliberal saat ini yang telah mengkooptasi seluruh lini kenegaraan dan kemanusian, sangat membutuhkan energi perlawanan luar biasa, baik secara material dan spiritual. Kuatnya ideologi yang menjadi mindset analisa yang fungsional, Kecerdasan taktik perjuangan, Kedisiplinan, kader dan organisasi serta komitmen dan totalitas perjuangan. Pemberdayaan kader secara optimal, tidak hanya dalam sosial politik kategoris, namun perlu didorong dalam seluruh skema lini sektor strategis. Dalam GMPI tidak mengenal istilah alumni, karena mewujudkan cita dan visi GMPI tidak bisa hanya diwujudkan ketika aktif sebagai pengurus maupun massa keanggotaan yang habis (35 tahun), karena perjuangan ini merupakan pergulatan yang cukup panjang, hingga akhir hayat kader.
Tahapan perjuangan ini secara garis besar harus melewati fase tahapan perjuangan yang sistemik, fase awal membangun embrio intelektual organik yang terorganisir-imun-orisinal yakni dengan penguatan garis ideologi perjuangan, inisiasi-konsolidasi berkelanjutan kader organisasi, penguatan dan pembinaan jaringan organisasi pusat dan daerah secara modern, membangun efektifitas dan garis komando organisasi yang displin. Fase kedua, Dispora Kader organik dalam seluruh strata fungsional strategis, dengan disertai mentoring-monitoring dan control-partisipatoris kwalitas kader secara berkelanjutan, mernbangun interaksi advokasi dan hidup bersama rakyat. sehingga tidak ada stereliteet antara kader dengan massa rakyat.
Fase ketiga optimalisasi dan rekonsolidasi seluruh energi jaringan kader GMPI yang telah belajar secara langsung dengan dinamika sosia lpolitik dan strata fungsional dalarn mendorong dan memperjuangkan visi besar organisasi merebut kemerdekaan sejati untuk mewujudkan sosialisme Indonesia yang dirahmati Tuhan YME. Fase perjuangan ini menegaskan GMPI, dalam langkah perjuangan nya bukan semata sebagai gerakan ekstra parlementarian an-sich, namun mempercayai pula gerakan parlementarian sebagai salah satu alternative taktik perjuangan dalam mewujudkan cita-cita politik.
Kader GMPI tidak serta merta hanya diterjunkan dalam perjuangan politik, partai politik, organisasi politik,lembaga swadaya masyrakat, namun mesti juga terdiaspora dalam rajutan yang bersentuhan dengan rakyat secara praksis; ekonomi-keuangan praktis, professional gerak fungsional, intelektual akedemisi, tani, nelayan, buruh, Guru dan basis pilar kemasyarakatan lainnya. Perjuangan harus mampu bergerilya dalam seluruh sektor kemasyarakatan, sehingga posisi perebutan kekuasan tidak gagap, namun siap secara spirit, kapabalitas, kapasitas dan tentunya memiliki integritas moralitas yang tangguh. Sebuah keniscayaan, GMPI mesti mampu melakukan pemberdayaan dalam total setiap potensi kader.
Perjuangan Popular
Dalam konteks kekinian, Hegemoni neoliberalisme yang berbasiskan materialism pro capital (pro modal) -penguatan Negara-negara antagonis-industri maju dalam institusi internasional dengan globalisasi sebagai kedok dan jargon telah melahirkan banyak paradoks, ketidakadilan ekonomi politik dunia, pemangkasan entitas dan identitas keragaman, peminggiran hak distribusi dan keadilan rakyat miskin, merenggut kearifan budaya lokal dan mempercepat hancurnya peradaban kernanusiaan.
Neoliberalisme, melahirkan hegemoni internasional yang sistemik. Operasionalisasi konsepsinya, menjadikan Negara-negara berkembang dan miskin sebagai subordinasi kekuatan Negara maju (industrialized countries).
Dalam konteks ke Indonesiaan, tercermin dalam setiap kebijakan politik-ekonomi dan public policy yang terus menerus mencerabut hak massa rakyat, khususnya kaum marhaen (tertindas). Disini letak tantangan GMPI, sebagai unit dan katalisator perjuangan. GMPI mesti mampu membangun front kapal perjuangan nasional yang terus bergerak melewati samudera peradaban sebagai manifest counter system, counter culture dan tentunya counter ideology dengan berpegang teguh dalam Pancasila. Neoliberalisme yang menghandalkan institusi internasional, hanya mampu dibendung dengan internalisasi penguatan institusi Negara. Konsolidasi kekuatan nasional untuk kepentingan nasional hanya bisa digerakan dengan landasan kedaulatan politik rakyat-pasar ekonomi sosial (non intervensi) bukan daulat ekonomi politik pasar!, kemandirian ekonomi didasari pengelolaan sumberdaya alam dan proteksi kepentingan publik, dan identitas kearifan kebudayaan nasional sebagai spirit peradaban bangsa.
Melawan rezim neoliberalisme dan ketidakadilan sistemik tidak bisa hanya dalam skema perjuangan politik yang sporadis, mesti didorong mewujudkan perjuangan semesta (macbstvorming). Neoliberalisme, hanya mampu dilawan dengan akar kekuatan nasionalisme profetik dan popular, konsekwensinya mesti melakukan pergerakan popular (merakyat) yang tidak sekedar jargon. Nasionalisme popular, diartikan sebagai kerangka kerja programatik dalam proteksi dan distribusi national interest untuk negara dan rakyat, proteksi kepentingan rakyat miskin (Marhaen) dan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Hal ini sebagai antitesa pergerakan kaum nasionalis sempit yang berkedok partai politik maupun simbolitas bahkan kultus buta, yang tidak bisa melakukan pendobrakan menuju era baru bahkan cenderung feodal dan mempertahankan status quo. Dengan gerakan nasional popular, kita akan meretas jalan kemerdekaan sejati dan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan untuk rakyat Indonesia. Merdeka !
Daftar Bacaan :
Frank, Andre Gunder. 1984. Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan Sosiologi.
Kata Pengantar Arief Budiman. Pustaka Pulsar,Yogyakarta
Galtung, Johan. 1980. A Structural Theory of Imprealism. (pp. 261-298) In: Ingolf and Anthony
R. de Souza (Eds). Dialectics of Third World Development. Montelair,New York.
Kevin Danaher, 2001, 10 Reasons to Abolish the IMF and World Bank, Global Exchange,Canada
William K. Tab, 2006 Tabir Politik Globalisasi, Penerjemah:Uzair Fauzan dkk,. Lafadl Pustaka,Yogyakarta
Ivan A. Hadar, 2004,Utang, Kemiskinan dan Global isasi: Pencarian Solusi Alternatif, Lapera, Yogyakarta
Budi Winarno, 2005, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru, TAJIDU Press, Yogyakarta
Robert Gilpin, 2001 ,Global Political Economy: understanding the international economic order, Princeton University Press, New Jersey
Robert Gilpin, 1987, The political Economy of International Relations, New Jersey: Princeton University Press
Soekarno, 2006, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno,Media Pressindo, Yogyakarta
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, jilid I-II
Lyn H. Miller, 2006, terjemahan, penerjemah daryatno, Agenda Politik Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sri Edi Swasono,2002,Paper, Jati Diri Bangsa,Pertemuan Alumni Akbar FE UNDIP,Semarang Periode Liberalisasi Perdagangan dalam Kasus Beras Indonesia, accessed from
Revrisond Baswir,Republik utang.http://www.republika.co.id/kolom.asp? kat_id=15
Anderson Sarah,et.al(2000)field Guide to the Global Economy.
B. Herry Priyono, "Marginalisasi ala Neoliberal", jurnal BASIS, No. 05-06, Mei-Juni, 2004.
Chris Harman," Anti Capitalism: Theory and Practise", International Socialism no.88, London,
Max Lane, Bangsa Yang Belum Selesai, Reform Jnstitute, 2007 Membaca Tanda Zaman Pada Akhir Sebuah Zaman,
Puslit Candraditya, Maumere, 2003 Perspektif Pemikiran Bung Karno, H. Wuryadi Tadjudin Noer Effendi, Wisnu Wardhana, Lembaga Putra Fajar, 2004
Richard Barnet & John Cavanagh, "Homogenization of Global Culture, dalam Jerry Mander, the Case Against Global Economy
Soekarno, 1963, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid 1, Jakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno 1965, Jilid 2 & 3, Jakarta Deklarasi Ekonomi, Jakarta, Yayasan Prapanca, 1964.
Kursus-kursus Presiden Soekarno tentang Pancasila, Penerbit Prapanca, 1960 To build the world a new president Soekarno's address before the fifteenth general assembly of the united nations 30 September 1960. 5. Soekarno, Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Galang press. Yogyakarta 2002.

Gus Dur dan Fenomena Kita

Simbol marginalitas.
Masyarakat yang pluralis serta merta memiliki persamaan persepsi tentang Gus Dur apalagi setelah beliau wafat. Mengapa ? Karena beliau memihak kaum marginal ! Gus Dur eksis justru karena keterbatasannya secara fisik,dimana beliau memang kesehariannya hingga akhir hayatnya dalam kondisi margin, bayangkan seseorang yang fisiknya tidak komplit dalam keadaan buta dan lumpuh.
Namun kondisi non fisik/ jiwa dan hatinya tidak buta, pikirannya tidak lumpuh dan justru karena keterbatasan/marginalitas nya itulah maka hatinya mampu merasakan bagaimana perasaan dan kehidupan seseorang atau kelompok yang hidup dalam keadaan margin, miskin, terbatas dalam segala hal dan bahkan mengalami tekanan baik fisik maupun non fisik.
Ikatan bathin Gus Dur yang erat dengan minoritas agama, suku, bahkan menetapkan perayaan imlek sebagai hari libur nasional. Ikatan bathin terhadap kaum tertindas lainnya sebagai akibat dari kuatnya cengkeraman Dwi fungsi militer saat itu dan memutuskan Polisi berpisah dengan tentara, ini artinya GusDur membatasi kekekuatan absolute militer melalui Dwifungsi agar kembali secara professional ke barak dan mendorong “sang margin” Polri untuk menggeliat sebagai pengayom masyarakat.
Sangat disayangkan bila para pemimpin yang saat ini senantiasa bersikap/berparadigma normative ( karena memang tidak pernah merasakan bagaimana menjadi orang menderita atau menjadi kaum yang tertindas ) dan tidak berpihak kepada kaum margin yang saat ini tengah kehilangan symbol pemersatunya dan tengah bahkan nyaris tipis harapan terbebas dari marginalitas kemiskinan, penderitaan, karena sangat dimungkinkan bahwa kekuatan margin ini akan serentak bergerak mengambil kemerdekaannya secara paksa, dan ini bahaya bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara.
Pelajaran politik apa yang diserap masyarakat setelah perginya Gus Dur ? Hiruk pikuk politik bangsa saat ini akan mengkristal setelah perginya Gus Dus, artinya semangat menjadikan Gus Dur symbol pemersatu kaum margin dan masyarakat bawah sangat solid. Soliditas kaum margin di masyarakat luas ini terinspirasi kekuatan fenomenal Gus Dur baik secara positif maupun negative, kalau Gus Dur yang cacad dan lumpuh saja bisa, mengapa kami tidak ? Simbol Gus Dur ada didalam hati masyarakat margin, sebagai symbol perlawanan terhadap kaum establish, kaum penikmat hidup, kaum elite, komprador yang selama ini menindas kehidupan rakyat .
Rakyat tidak akan sabar menanti keberpihakan para pemimpin terhadap hasil pemeriksaan kasus kasus krusial Bank Century berikut kaitannya Korupsi disegala bidang. Jangan biarkan tangan asing ikut campur masalah bangsa, sekalipun tangan tangan para pemimpin disegala strata yang berwarna coklat ini sudah terlalu banyak yang berubah jadi kuning, putih bahkan hitam.
Dibutuhkan pemimpim pemimpin yang berjiwa patriot bangsa sejati, pemberani dan mampu mempersatukan serta membawa bangsa Indonesia terlepas dari kondisi marginalitas ini. Selamat berjuang !

Minggu, 03 Januari 2010

Gurita Cikeas

kawan-kawan kesulitan dapat buku gurita cikeas... saya sediakan format dokumennya biar mudah dibaca

http://www.4shared.com/file/187339783/3d7f1bab/ekonomi_politik.html