Rupanya bukan Amerika Serikat saja yang bikin kisruh di kawasan Asia Tenggara dan ASEAN pada khususnya. Kali ini, Republik Rakyat Cina pun ternyata cukup berpotensi untuk menciptakan situasi yang keruh di kalangan negara-negara anggota ASEAN. Mau bukti? Minggu lalu, tepatnya pada 6 Februari lalu, Global Future Institute (GFI) menggelar diskusi terbatas dengan beberapa analisis intelijen strategis dan pakar politik internasional. Pokok bahasan cukup menarik: Membayangkan berbagai skenario hubungan Amerika-Cina pada 2010.
Ternyata ada temuan yang cukup menarik dalam perbincangan yang tersebut. Yaitu perlunya mewaspadai Cina sebagai kekuatan adidaya baru di Asia yang pada giliranya bisa memecah-belah persatuan dan kekompakan negara-negara ASEAN sebagai anggota perhimpungan negara-bangsa di kawasan Asia Tenggara. Menurut informasi yang berhasil terhimpun melalui diskusi tersebut, ternyata sejak 2005 Cina sudah mulai mengaktifkan kegiatannya di beberapa wilayah yang masih masuk dalam kategori “Wilayah Sengketa(Dispute Territory) yang berada di Laut Cina Selatan.
Misal, dengan sengaja dan secara terencana memperbanyak jumlah kapal penangkapan ikan dan kapal-kapal Angkatan Lautnya di Teluk Tonkinsky, Pulau Parasel serta Kepulauan Spratli. Di wilayah-wilayah yang masih menjadi sengketa berbagai negara tersebut, terungkap bahwa Cina telah memprakarsai didirikannya bangunan-bangunan dan gedung-gedung baru di pulau-pulau sengketa tersebut.
Yang lebih krusial lagi, sebagaimana terungkap dalam diskusi terbatas di GFI tersebut, pemerintah Cina secara sepihak telah merebut beberapa pulau baru dan bahkan mendorong warga Cina di wilayah sengketa untuk mendiami dan menghuni secara permanent wilayah-wilayah sengketa tersebut.
Sepintas hal ini terkesan tidak terlalu berbahaya dari segi terciptanya stabilitas dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. Namun para analis intelijen strategis dan pakar politik internasional berpendapat bahwa tindakan Cina semacam itu, terutama operasi Angkatan lautnya di Laut Cina Selatan, bisa dibaca bahwa Peking berupaya dengan sengaja dan terencana untuk memperluas perbatasan negaranya serta memperkuat posisi militernya di wilayah sengketa yang dipandang Cina sebagai daerah strategis untuk mendukung kepentingan geopolitik dan geostrategisnya.
Yang krusial dari tren ini adalah, bahwa Cina diprediksi bakal terus melanjutnya proses perebutan pulau-pulau baru tersebut dengan menciptakan aksi destabilisasi di berbagai wilayah sengketa di kawasan Laut Cina Selatan.
Bahkan menurut salah satu sumber dari kalangan intelijen strategis menginformasikan bahwa Cina secara bertahap besar kemungkinan akan memasukkan beberapa desa di pulau-pulau sengketa tersebut ke dalam struktur administratif Provinsi Hainan. Jika prediksi ini terbukti jadi kenyataan di masa depan, tak pelak lagi bakal mengobarkan perselisihan territorial antara Vietnam dan Cina. Ini parallel dengan kecemasan yang berkembang di kalangan elit politik sayap kanan dan neokonservatif di Washington. Bahkan dalam bukunya The Clash of Civilization, pakar politik Amerika Samuel Huntington telah memprediksi bahwa jika pada 2010 nanti meletus perang antara Amerika dan Cina, maka pemicunya adalah penyerbuan militer Cina ke Vietnam.
Tapi okelah, itu baru salah implikasi yang kiranya perlu diantisipasi dalam mencermati skenario negara-negara adidaya seperti Amerika dan Cina pada 2010. Yang tak kalah penting untuk dicermati adalah fakta bahwa dalam perselisihan wilayah sengketa antara Beijing dan Hanoi tersebut, Cina sepertinya menolak untuk melibatkan perundingan ihwal status pulau-pulau sengketa tersebut secara multilateral dengan mengikutsertakan Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Padahal, ketiga negara tersebut merasa memiliki berhak juga atas pulau-pulau sengketa tersebut.
Dengan manuver diplomatik Cina hanya menggiring Vietnam dalam perundingan bilateral, nampaknya bisa menimbulkan tiga implikasi serius bagi ASEAN dan kawasan Asia Tenggara pada khususnya. Pertama, Cina memang bermaksud untuk memecah-belah persatuan dan kekompakan negara-negara ASEAN secara politik dan diplomatic dalam kaitannya dengan klaim wilayah sengketa di Laut Cina Selatan. Maklum Vietnam, Indonesia, Malaysia dan Filipina juga tercatat sebagai negara-negara ASEAN.
Kedua, dengan menggiring perundingan ihwal wilayah sengketa ini secara bilateral antara Cina dan Vietnam, tentunya Cina berharap posisi strategis Vietnam secara diplomatik berada dalam posisi yang lemah. Apalagi secara de fakto, kekuatan ekonomi dan militer Cina jauh lebih kuat daripada Vietnam.
Ketiga, nah ini yang paling krusial. Manuver Cina yang kian agresif dan menyudutkan posisi Vietnam dalam soal Dispute Territory, hal ini akan dibaca oleh Amerika Seriakt sebagai niat Cina untuk meningkatkan eskalasi militernya di kawasan Asia Tenggara. Sehingga Amerika yang sebenarnya sudah bersiaga penuh dengan Armada Ketujuhnya di Asia Pasifik, tak pelak lagi seperti mendapat dalih dan momentum untuk melakukan eskalasi militernya pada skala yang sama dengan Cina.
Apalagi kalau benar Cina memang akan menggiring soal wilayah sengketa ini dengan memposisikan Vietnam pada posisi yang tersudut, maka Amerika akan melihat perkembangan ini sebagai peluang untuk merangkul Vietnam sebagai sekutu strategis di Kawasan Asia Tenggara dan ASEAN pada khususnya. Sehingga benarlah ramalan Huntington bahwa dalam perang Amerika-Cina pada 2010, Vietnam berada dalam konfigurasi persekutuan Amerika-Eropa Barat, sedangkan Cina berada dalam konfigurasi persekutuannya dengan negara-negara Islam seperti Iran-Saudi Arabia-Pakistan. Sedangkan Indonesia, India, Jepang dan Australia, begitu menurut ramalan Huntington, akan berada dalam posisi netral.
Indikasi adanya upaya Amerika untuk merangkul Vietnam dalam suatu persekutuan di bidang pertahanan dan keamanan sebenarnya sudah terlihat sejak Oktober dan November 2007, ketika kapal militer Angkatan Laut Amerika mengunjungi pelabuhan Vietnam. Bahkan pada 3-5 Desember 2007,kedekatan kedua negara tersebut semakin intensif dengan kunjungan Wakil Sekretaris Menteri Luar Negeri Amerika bidang politik dan militer. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan penting tersebut, untuk pertama kalinya pimpinan politik Vietnam tertarik untuk mengadakan latihan militer bersama dengan negara Paman Sam tersebut.
Bisa dipastikan ini merupakan sinyal tanda bahaya karena bisa merugikan stabilitas regional di kawasan Asia Tenggara. Karena itu negara-negara ASEAN, utamanya Indonessia sebagai negara terbesar ASEAN, perlu secara lebih aktif memprakarsai perundingan ihwal penyelesaian perselisihan diplomatic di wilayah sengketa tersebut dengan menggunakan mekanisme ASEAN+1 atau ASEAN plus Cina. Sehingga lingkup perundingan diplomatik bersifat multilateral sehingga bisa menetralisasi persoalan dispute territory hanya sekadar sengketa antara Cina dan Vietnam. Melainkan menjadi persoalan klaim negara-negara ASEAN versus Cina. Dengan begitu, posisi strategis ASEAN berhadapan dengan Cina akan semakin kuat. Sekaligus mencegah destabilisasi kawasan ASEAN dengan menggunakan konflik bilateral Cina-Vietnam sebagai faktor pemicu menajamnya pertarungan terbuka Cina-Amerika di Asia Tenggara.
Yang juga harus diperhitungkan Cina, manuvernya dalam berupaya menguasai pulau-pulau sengketa tersebut, pada giliranya juga akan memperburuk hubungahn diplomatik Cina dengan negara-negara ASEAN. Dan ini justru akan ironis mengingat saat ini hubungan Cina dan ASEAN justru sangat baik dan bahkan lebih erat dibandingan hubungan Amerika-ASEAn di era Presiden George W Bush saat ini yang mana kecenderungan politik luar negerinya yang agresif, militaristic dan eskansif sebagaimana diperagakannya di Afghanistan dan Irak, ternyata telah mengundang antipati dan permusuhan dari berbagai negara berkembang termasuk ASEAN.
Karena itu akan menjadi ironis ketika di tengah-tengah eratnya hubungan Cina-ASEAN, Amerika justru mendapat momentum untuk memperbesar kembali kehadiran militer dan pengaruh ekonominya di Asia Tenggara dengan dalih adanya ancaman dari Cina.
Hendrajit
Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute(GFI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar