Senin, 14 April 2008

Indonesia Butuh Intelijen Ekonomi

JAKARTA - Di bawah rezim Orde Baru, lembaga intelijen identik dengan institusi yang bertugas memata-matai rakyat. Stigma ini belum hilang, bahkan setelah Soeharto terjungkal enam tahun lalu.
Banyak hal yang perlu dibenahi di tubuh Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menghapus stigma itu, termasuk restrukturusi internal lembaga tersebut dan koordinasi antarintelijen di lembaga lain.
Di bawah ini, wartawan SH, Fransisca R.Susanti dan Emmy Kuswandari mewawancarai Deputi VII Bidang Operasional dan Teknologi BIN Bijah Subijanto di Jakarta, akhir pekan lalu. Selain soal kontroversi RUU Intelijen, terorisme, dan separatisme, Bijah juga mengemukakan keprihatinannya tentang hilangnya aset ekonomi Indonesia sehingga ia merasa perlu melontarkan gagasan soal intelijen ekonomi.
Berikut petikan wawancaranya:

Selama ini Badan Intelijen Negara (BIN) dituding lamban menyediakan informasi, terutama terkat dengan isu-isu terorisme. Bagaimana sebetulnya evaluasi terhadap kinerja BIN sendiri?

Ukuran kinerja intelijen itu adalah kalau sudah menyediakan informasi awaldan informsi kini tentang sesuatu. Sebelum bergerak kita itu sudah nguping, sudah merasakan. Khusus mengenai terorisme, saya katakan bahwa jaringan terorisme internasionalnya, sumber pendanaan, orang-orang yang terlibat sebenarnya sudah kami sampaikan.
Kalau untuk menentukan, cukup banyak sebenarnya dari orang-orang eks Afhganistan, eks Moro, semua ini sebetulnya sudah kita sampaikan. Hanya memang sistem kerja kita memang suram.
Kita ini tidak pernah bekerja secara sistem. Harusnya, informasi intelijen itu dijadikan acuan. Misalnya oleh kepolisisan, imigrasi, atau bagi Deplu untuk melakukan tindakan pencegahan yang mungkin.

Akar masalahnya apa? Apakah tidak ada koordinasi antara lembaga atau karena kredibilitas BIN yang tidak dipercaya oleh lembaga-lembaga lain?
Yang pertama, ya kredibilitas. Kredibilitas itu bukan karena memang BIN tidak kredibel. Memang BIN tidak dibuat kredibel.
Ini menurut saya ada unsur-unsur tertentu. Saya tidak pernah menyatakan di antara komponen bangsa menjadi sumber-sumber ancaman, bisa saja oknum-oknum tertentu yang melakukan sesuatu terhadap kinerja BIN yang sangat tinggi, dia jadi terancam.
Karena memang dulu intelijen didayagunakan untuk mengamat-amati rakyat kita. Itu suatu kesalahan waktu itu dan sekarang sudah tidak cocok. Sekarang rakyat biar saja diberikan kebebasan dan bergerak maju, kalau terjadi penyimpangan, hukum saja yang bertindak.

Memori itu ada di rakyat?
Ya. Dan stigma seperti itu yang menyulitkan kerja intelijen. Jadi dia tidak dipercaya dan saya menduga ada yang ingin supaya intelijen tidak dipercaya, walau cuma satu dua gelintir orang, baik dari dalam atau luar negeri.
Indikasi-indikasi itu sebetulnya sangat banyak. Bang Buyung (Adnan Buyung Nasution - red) selalu nyatakan pada saya, pengalaman traumatik beliau, kalau dulu inteljen itu menyiksa dan sebagainya. Sebetulnya yang dia derita itu bukan kerja intelijen. Mungkin orangnya intelijen, tetapi pekerjaannya bukan pekerjaan intelijen. Karena kalau kerja intelijen itu pakai knowledge, pakai otak.

Bukankan cara-cara kekerasan masih banyak juga digunakan untuk mendapatkan data intelijen?
Menurut saya, kekerasan tidak akan memberikan jaminan bahwa dia akan mengaku. Sekarang sudah ada teknologi. Teknologi yang menggunakan impuls-impuls detak jantung, darah, dan sebagainya.
Kalau dia bohong denyutnya berbeda dengan apa yang dia katakan. Jadi kalau ada ketakutan bahwa penahanan itu akan dijadikan alat untuk menangkap sembarangan dan sebagainya itu tidak mungkin. Zamannya sudah berbeda.
Zaman Orba karena otoriter itu mungkin dilakukan. Kalau sekarang saya kira tidak ada satu pun orang intelijen yang melakukan itu. Karena melakukan itu kan bunuh diri.

Kolekting data inteljen kita dulu cukup cakap, kenapa sekarang menurun?
Syarat intelijen itu harus dipercaya. Karena kalau tidak dipercaya, hasil inteljen yang dilakukan ya untuk apa.
Kedua, sebetulnya selama ini inteljen lebih dipayungi oleh kekuasaan yang sangat kuat sehingga dia sebetulnya bekerja dalam kondisi yang relatif mudah. Karena pemerintahnya zaman Suharto sangat kuat, jadi inteljen bekerja dalam kondisi kondusif.
Itu sebetulnya positifnya bisa kondusif dan efektif, tetapi negatifnya dia memang bisa abuse of power, abuse of otority. Nah, sekarang saya selalu sarankan kapasitas dan kapabilitas intelijen terus diperkuat, tapi harus diawasi.
Ketiga, dalam proses transisi seperti ini memang intelijen sangat sulit karena dinamika masyarakat itu sangat cepat dan cenderung tidak teratur. Kalau proses transisi itu memang cenderung tidak teratur.
Keempat, teknologi intelijen kita zaman dulu itu sangat kuat dan sekarang tidak. Sekarang ini baru dibangun kembali teknologi itu. Padahal di Amerika, direktur teknologi itu ada direktur teknologi signal intelgence ada direktur bidang image intelijen.
Kalau kita masih dijadikan satu. Kalau kita orangnya sekitar 10 orang saja untuk deputi teknologi. Amerika sudah 6.500 orang, Australia 1.652 untuk divisi teknologi, dan Malaysia sudah 200-an orang. Kita terlalu mengandalkan pada payung kekuasaan waktu itu. Sehinga teknologinya makin lama-makin menurun.

Bagaimana dengan perluasan wewenang yang diinginkan BIN, termasuk wewenang penangkapan?
Kalau penangkapan tidaklah. Kalau BIN diberi hak atau diberi otoritas untuk meminta informasi dari orang yang diduga mengetahui masalah terorisme, itu boleh. Itu sifatnya informasi biasa. Pertanyaannya pun bukan dalam kapasitas sebagai terdakwa, tetapi sebagai informan. Yang menentukan terdakwa atau tidak, ya polisi.
Bunyinya (dalam draf RUU Intelijen –red) harusnya intelijen diberi kewenangan untuk meminta informasi pada orang-orang yang dicurigai dan orang-orang yang dimintai informasi wajib memberikan informasi. Itu intinya, bukan menahan.
Bagaimana dengan latar belakang Kepala BIN? Ada usul dari Komisi I DPR agar Kepala BIN berasal dari sipil? (saat wawancara ini diturunkan, Presiden melantik mantan Kepala Bais, Syamsir Siregar sebagai Kepala BIN-red)
Badan intelijen yang kuat dulu sebetulnya intelijen militer yang Bais (Badan Intelijen Strategis). Begitu BIN muncul ke depan, dalam kondisi lemah. Sipil boleh saja mengatakan kita mampu, tapi menurut saya ini tidak jujur bilang seperti itu, karena memang dulunya intelijen militer yang berperan. Dan intelijen sipil tidak ada persiapan untuk menggantikan posisi ini. Tetapi ada saja yang bilang sipil sudah kuat.
Dengan pengalaman ini saya yakin kita memang harus berbenah. DPR katakan bahwa sipil yang harus pimpin BIN barangkali iya artinya kepala BIN sipil, wakilnya harus militer. Komposisinya seperti itu. Harus melihat sejarah bahwa dulu yang kuat itu dari militer. Saya juga setuju dari sipil, asal tidak dipaksakan. Darimana saja asal kapabel. Jangan rebutan. Bahaya kalau didikotomikan sipil militer.

Apa prioritas target BIN, sekarang?
Kalau sekarang terorisme, separatisme, konflik sosial, dan intelijen ekonomi. Ekonomi kita itu hancur lebur karena intelijen asing.

Soal intelijen ekonomi, sudah jadi wacana bersama di BIN?
Sampai sekarang belum. Saya yang sangat getol.

Bisa berikan gambaran tentang intelijen ekonomi?
Intelijen ekonomi ini tidak hanya di entitas ekonomi bangsa tetapi juga swasta. Contoh sederhana bagaimana aset yang sangat penting dan strategis bagi bangsa dan negara seperti Indosat bisa jatuh kepemilikannya ke tangan asing.
Inikan ketidakcermatan intelijen ekonomi kita. Kalau cermat tidak mungkin terjadi. Ini saya akui saja. Penggunaan satelit berseliweran di angkasa kita ini. Kalau intelijen kuat tidak bakal terjadi. Penggunaan bandwidth asing untuk internet dan sebagainya. Bandwidth kita banyak yang idle kok pakai bandwidt asing.

Tapi banyak yang tidak menyadari soal ini?
Sekarang ini kalau intelijen seolah-olah terorisme. Politik itu dinamika, jadi biar saja. Cukup simpul yang ekstrim dan berbahaya saja yang harus diamati. Kalau dinamika diamati ya lelah sendiri, wong itu dinamika politik.
Justru kalau dinamika itu naik turun tetap aja akan berjalan maju. Jangan dibatasi. Tapi kalau yang bahaya seperti ekonomi, atau mau ngebom, yang mau jatuhkan kredibilitas negara kita, yang mau hancurkan TNI, atau aparat itu yang harus diawasi. Dinamika politik itu harus jalan. ***

Tidak ada komentar: