Sabtu, 19 April 2008

Kedaulatan Pangan

Kedaulatan Pangan, Jalan Keluar Krisis Pangan Indonesia

Krisis pangan adalah masalah klasik bangsa ini, sebuah ironi bagi negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi. Krisis pangan saat ini terjadi dimana kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, dan harganya naik tak terkendali. Namun harus diperhatikan, bahwa krisis pangan yang terjadi di Indonesia bukanlah sebab yang akan berdampak pada hal lain (kemiskinan, pengangguran). Fenomena ini adalah sebuah akibat dari kebijakan dan praktek privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi—sebagai inti dari Konsensus Washington.

Privatisasi;
Akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa.

Privatisasi sektor pangan—yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat—tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel)—seperti yang sudah terjadi saat ini.

Liberalisasi;
krisis pangan juga disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO). Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan hingga 0 persen seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan insentif harga). Di sisi lain, export subsidy dari negara-negara overproduksi pangan seperti AS dan Uni Eropa—beserta perusahaan-perusahaannya—malah meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan harga domestik kita hancur (1995 hingga kini). Hal ini jelas membunuh petani kita.

Deregulasi;
beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.

Dengan sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola produksi-distribusi-konsumsi secara internasional, kita langsung terkena dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.

Krisis pangan di awal tahun 2008 ini menunjukkan bahwasanya tesis tentang pasar bebas itu tidak berlaku untuk keselamatan umat manusia—terutama dalam hal pangan. Bahkan sejak aktifnya perdagangan bebas ini dipromosikan WTO, angka kelaparan di dunia semakin meningkat dari 800 juta jiwa (1996) menjadi 853 juta jiwa (2007).

Oleh karena itu, Serikat Petani Indonesia (SPI), dan di tingkat internasional La Via Campesina sudah dengan tegas menyatakan agar WTO keluar dari pertanian (1996-sekarang). Dan untuk jangka panjang, petani menuntut dilaksanakannya pembaruan agraria dalam rangka basis kebijakan agraria dan pertanian.

Dalam jangka pendek dan menengah, masalah krisis pangan sebenarnya terkait dengan 3 hal—yakni (1) produksi pangan; (2) luasan lahan; dan (3) tata niaga pangan. Dengan memperhatikan ketiga hal tersebut, maka petani menuntut solusi jangka pendek kepada pemerintah:

  1. Mematok harga dasar pangan yang menguntungkan petani dan konsumen. Harga tidak boleh tergantung kepada harga internasional karena tidak berkorelasi langsung dengan ongkos produksi dan keuntungan. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi dan keuntungan petani dan kemampuan konsumen
  2. Memberikan insentif harga kepada petani komoditas pangan (terutama beras, kedelai, jagung, singkong, gula dan minyak goreng) jika terjadi fluktuasi harga. Hal ini sebagai jaminan untuk tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri.
  3. Mengatur kembali tata niaga pangan. Pangan harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bulog bisa diberikan peran ini, tapi harus dengan intervensi yang kuat dari Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan.
  4. Menambah produksi pangan secara terproyeksi dan berkesinambungan, dengan segera meredistribusikan tanah objek landreform yang bisa segera dipakai untuk pertanian pangan.
  5. Menyediakan insentif bagi petani komoditas pangan, terutama bibit, pupuk, teknologi dan kepastian beli
  6. Memberikan dukungan pelembagaan organisasi petani komoditas pangan, yakni kelompok tani, koperasi, dan ormas tani
Pada 1996 gerakan petani internasional La Via Campesina mengajukan konsep kedaulatan pangan (food sovereignty), yang mengedepankan prinsip-prinsip praproduksi, produksi, distribusi dan konsumsi yang diinginkan rakyat. Konsep ini juga dimajukan untuk melawan konsep ketahanan pangan dikooptasi dengan model mainstream neoliberal.

Menurut saya, ada beberapa isu sentral yang dalam kedaulatan pangan pada pencetusan awalnya: 1) akses sumber daya produktif yang harus dikuasai rakyat, seperti: tanah, air, benih, dan lainnya; 2) perlawanan terhadap sistem perdagangan internasional yang menghalalkan impor murah dan dumping produk pangan; 3) perjuangan untuk pasar yang adil melawan kendali distribusi dan pasar yang cenderung dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan raksasa dan melupakanpasar lokal dan domestik.

Konsep ini dinilai sebagai sebuah alternatif yang membawa pesan baru untuk tatanan dunia yang penuh dengan ketidakadilan kala itu. Ia menjadi bagian dalam perlawanan nyata terhadap rejim perdagangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), rejim finansial IMF dan Bank Dunia, yang marak di pertengahan 1990-an. Banyak organisasi rakyat di tingkat nasional, regional maupun internasional yang mengkaji lebih lanjut dan mempromosikan konsep ini. Perjuangan terus berlanjut hingga mencapai titik terang dalam beberapa bulan belakangan: legitimasi IMF berkurang, negosiasi WTO mati suri sejak Juli 2006, dan diadopsinya konsep-konsep kerakyatan oleh negara-negara tertentu (Venezuela, Kuba, Bolivia, Nepal, Brazil, dan lainnya) serta berkembangnya sistem perdagangan berbasiskan solidaritas (ALBA).

Pada tahun 2006, digagaslah sebuah forum rakyat yang direncanakan mewadahi perjuangan kedaulatan pangan. Pertemuan ini diadakan di Mali, negeri di Afrika Barat—salah satu negara yang telah mengadopsi kedaulatan pangan. Mali dianggap sukses berpihak kepada petani, dengan mencantumkan kedaulatan pangan tersebut dalam konstitusinya.

Nyeleni

Forum ini diselenggarakan pada 23-27 Februari 2007 ini, dengan nama Nyeleni. Nama ini diambil dari seorang petani perempuan yang perjuangannya sangat melegenda dan membudaya di tanah Mali. Menurut Ibrahima Coulibaly, pemimpin organisasi petani di Mali, Nyeleni adalah petani perempuan yang teguh dan ulet. Pada masa hidupnya, Mali adalah negara yang tandus dan gersang. Karenanya, tak ada yang sanggup memproduksi pangan yang cukup walau hanya untuk konsumsi keluarga. Namun Nyeleni dengan teguh terus bertani dengan memanfaatkan kearifan lokal dan tradisi, membangun sistem air yang bisa dinikmati bersama komunitasnya, sehingga terbangun sistem pertanian yang menakjubkan dari tangan perempuan ini. Cerita-cerita rakyat juga mengatakan, bahwa tanah-tanah yang dulunya kering akhirnya bisa menjadi subur atas upaya Nyeleni. Orang-orang setempat pun mengakuinya sebagai perlambang Dewi Kesuburan, kira-kira seperti Dewi Sri di Indonesia.

Untuk menampung sekitar 600 orang dari seluruh dunia dalam forum ini dibangunlah sebuah desa kedaulatan pangan di tepi danau Selingue. Desa tersebut juga dinamakan Nyeleni. Berbeda dengan forum terbuka seperti World Social Forum (WSF), terdapat proses seleksi partisipan. WSF dikritik terlalu ‘becek’ hingga mengakomodir kepentingan individu dan organisasi yang bahkan tidak ikut memperjuangkan kepentingan rakyat. Ke-enam ratus partisipan Nyeleni adalah orang-orang yang diseleksi dari pejuang-pejuang kedaulatan pangan yang mewakili organisasi yang sejauh ini konsisten mempromosikan kedaulatan pangan dan aktif dalam gerakan rakyat.
Tujuan dari forum ini adalah untuk memperdalam arti kedaulatan pangan bagi rakyat, terutama oleh organisasi-organisasi yang selama ini aktif memperjuangkan kedaulatan pangan. Kemudian, untuk memikirkan juga pembangunan wadah-wadah perjuangan, seperti membangun aliansi yang lebih luas. Selanjutnya, untuk mengatur rencana-rencana aksi, strategi bersama, dan komitmen bersama untuk perjuangan yang lebih hebat lagi.

Terlepas dari masalah teknis yang masih mengganjal seperti listrik, sanitasi dan pembangunan desa yang belum sepenuhnya selesai, forum Nyeleni ini mendapat respon yang cukup hangat dari gerakan rakyat di seluruh dunia. Bahkan beberapa tokoh dari berbagai negara disebut-sebut akan menghadiri puncak pembicaraan gerakan rakyat mengenai kedaulatan pangan ini. Sebut saja Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Bolivia Evo Morales, Presiden Mali Amadi Toure, tokoh gerakan petani dan calon presiden Perancis José Bové, dan wakil dari parlemen Nepal. Yang disebut dua pertama akhirnya gagal hadir—walaupun Chavez mengirimkan video dukungan bagi kedaulatan pangan di akhir forum—sementara yang lainnya akhirnya datang. Belum juga termasuk pemimpin-pemimpin gerakan petani, buruh, nelayan, migran, masyarakat adat, penggembala dan konsumen dari seluruh dunia.

Sektor dan Isu

Di tahun 2002, FAO menggelar World Food Summit 5 Years Later, yang menandakan komitmen negara-negara untuk melawan kelaparan. Di peringatan yang sama pula, gerakan rakyat terutama dari petani—La Via Campesina—mengingatkan bahwa mustahil mencapai tujuan mengurangi setengah jumlah kelaparan pada tahun 2015. Alasannya, ada masalah-masalah mendasar yang belum menjadi komitmen pemerintah dan lembaga-lembaga internasional. Selain itu, target tersebut tentunya kurang realistis mengingat setelah lima tahun berlalu namun tidak ada perkembangan yang signifikan.

Masalah-masalah mendasar inilah yang dipertanyakan oleh gerakan rakyat, karena sesungguhnya dari segi produktivitas ternyata stok pangan dunia meningkat. Namun, jumlah rakyat yang rawan pangan cenderung bertambah (La Via Campesina, 2002). Dalam penuturan Peter Rosset, dari tata niaga pangan dunia ternyata ada yang tidak beres. Harga produk pertanian mentah rata-rata dari petani cenderung menurun, namun harga produk keluaran rata-rata industri pangan/pengolahan perusahaan transnasional cenderung meningkat (Rosset, 2006).

Belum lagi masalah ketidakadilan akses rakyat terhadap sumber daya produktif (lahan, air, benih, dan sebagainya). Tuntutan reforma agraria yang sejati adalah isu yang lahir dari problem ini—dan sudah menjadi tekanan gerakan rakyat, terutama petani dan masyarakat adat dalam semboyan land, territory and dignity. Sebelumnya ada pencapaian besar dari tekanan gerakan rakyat, yakni diadopsinya reforma agraria dan kedaulatan pangan dalam dokumen International Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD), yang dilaksanakan FAO pada tahun 2006 lalu di Brazil. Namun sayangnya komitmen ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, jadi tidak bisa dipaksakan kepada negara yang belum melaksanakannya.

Isu lain yang tak kalah mengemuka di tahun-tahun tersebut adalah isu perdagangan internasional—terutama pangan—yang tidak adil, dengan munculnya sistem WTO yang menghalalkan dumping dan pembukaan akses pasar. Dampak sistem WTO ini adalah kehancuran sistem pertanian berbasis keluarga karena tidak mampu bersaing dengan produk pangan berharga supermurah dari negara maju seperti AS dan Uni Eropa, yang terutama dipromosikan oleh perusahaan transnasional raksasa (Cargill, Tyson, Charoen Pokphan, Nestle, dan lainnya). Subsidi dalam WTO yang berujung pada dumping produk pangan ini juga bersembunyi pada mekanisme kotak-kotak (Green Box, Blue Box dan Amber Box) serta disahkan pada Farm Bill di AS dan Common Agricultural Policy di Uni Eropa. Dengan sistem ini jelas petani kecil di negara miskin dan berkembang yang merupakan ujung tombak produksi pangan terancam kehidupannya, karena produksi, harga dan pasar domestiknya tidak terlindungi dari banjir impor.

Dengan praktek mekanisme pasar bebas, apalagi didahului dengan revolusi hijau yang membuat petani di seluruh dunia tergantung dengan input kimia (pupuk, pestisida), kehancuran sistem pangan jelas menjadi nyata. Penyakit-penyakit dengan ongkos sosial tinggi pun muncul: pemiskinan, kelaparan, pengangguran, migrasi, dan sebagainya. Tahun 2002 dicatat dengan ketidakberdayaan FAO dan kegagalan ketahanan pangan dalam mengurangi masalah-masalah mendasar yang telah disebutkan di atas. Tahun-tahun ini juga ditandai dengan banjir impor di negara-negara miskin dan berkembang, juga dominasi perusahaan transnasional dalam bidang pangan dan agrokimia. Tahun 2006, FAO secara implisit mengakui target mengurangi kelaparan dunia memang tak akan tercapai—hingga tak memperingati World Food Summit 10 Years Later.

Kedaulatan pangan merupakan hak sebuah negara dan juga rakyatnya—dalam hal ini petani—untuk menentukan sendiri kebijakan pangannya dengan memprioritaskan produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin penguasaan petani atas tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil, serta melarang adanya praktek perdagangan pangan dengan cara dumping. Kedaulatan Pangan tidak melarang adanya perdagangan pangan, tetapi produksi pangan haruslah diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan lokal sehingga menjamin hak atas pangan bagi setiap orang, diproduksi dengan cara ekologis (agro-ecology) yaitu pertanian berkelanjutan berbasiskan pada keluarga tani (sustainable agriculture based on family farming). Kedaulatan pangan secara prinsipil juga menjamin harga yang adil dan menguntungkan serta tak lebih rendah dari ongkos produksi terhadap produsen, dan di sisi lain juga menjamin harga yang fair terhadap konsumen. Untuk itulah dalam forum kedaulatan pangan Nyeleni 2007, yang mengikuti adalah enam sektor yang mewakili gerakan kedaulatan pangan dunia: 1) petani 2) nelayan 3) penggembala/kaum pastoralis 4) masyarakat adat 5) buruh; dan buruh migran 6) konsumen dan gerakan perkotaan.

Dalam perjuangannya, inilah prinsip-prinsip yang diperjuangkan oleh gerakan rakyat untuk menegakkan kedaulatan pangan rakyat (Henry Saragih, 2007):

Rabu, 16 April 2008

Chaves Sikat NATO

CARACAS -- Presiden Venezuela Hugo Chavez kemarin menyatakan pemerintahnya sedang menyiapkan pembentukan pakta pertahanan Amerika Selatan bersama Brasil dan negara-negara lain.

Menurut dia, dewan pertahanan yang mirip NATO itu akan menyatukan negara-negara di kawasan tersebut "menyusun kebijakan pertahanan kita". Dia mengatakan pemerintah akan membahasnya dengan Menteri Pertahanan Brasil Nelson Jobim besok.

"Saya dulu mengatakan jika NATO (Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara) bisa ada, mengapa SATO (Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Selatan) tidak?" kata pemimpin beraliran kiri yang bersahabat baik dengan Fidel Castro itu.AP

Senin, 14 April 2008

Survei LSI

Sentimen Ekonomi Politik 2008

Secara umum sentimen elektoral masyarakat terhadap tokoh-tokoh nasional untuk presiden semakin terfragmentasi. Tidak ada tokoh yang punya daya tarik elektoral secara nasional. SBY memang masih yang paling kuat, tapi dukungan sementara terhadapnya cenderung merosot bila pilihan semakin terbuka dengan calon semakin banyak. Sebagai incumbent, dan masih 1,5 tahun ke depan, SBY akan dipilih oleh warga jauh di bawah mayoritas (34%) bila calon cukup banyak.

Tapi Megawati belum menunjukan tanda-tanda bisa mengalahkan SBY bila keduanya harus kembali berhadapan head to head.

Nasib politik SBY sebagian ditentukan oleh kondisi ekonomi nasional, terutama berkaitan dengan kemampuannya mengatasi masalah harga-harga kebutuhan pokok.

Sangat sedikit warga yang merasa kondisi ekonomi nasional membaik. Juga sangat besar dari warga yang merasakan semakin berat memenuhi kebutuhan pokok mereka.

Tapi SBY belum tersaingi karena faktor-faktor non-ekonomi, terutama keamanan dan ketertiban, dinilai cukup baik, dan belum muncul tokoh alternatif.

Bila keadaan ekonomi memburuk dalam satu setengah tahun ke depan, dan muncul tokoh alternatif di luar Megawati, kemungkinan SBY gagal dalam Pemilu 2009.

Mungkinkah muncul tokoh alternatif?

Belakangan muncul opini bahwa dukungan pada Pak Harto dari publik sangat besar, dan karena itu ada spekulasi bahwa anggota keluarga Pak Harto kemungkinan akan mendapat dukungan luas untuk menjadi presiden bila ia maju.

Siti Hardiyati Rukmana (Tutut) adalah putri Pak Harto yang paling banyak berkiprah dalam politik, dan karena itu bila ia maju kemungkinan akan sukses mengalahkan SBY atau calon-calon lain apabila memang ada yang disebut sebagai kekuatan warisan politik Pak Harto.

Tapi untuk sementara, tanda-tanda itu tidak terlihat. Opini tentang warisan politik Pak Harto tidak punya dasar.

Bila pemilihan presiden diadakan ketika serangkaian survei ini dilakukan, nyaris tidak ada warga yang memilih Tutut.
Tutut, untuk sementara, belum bisa menjadi alternatif.

Di samping itu, mantan-mantan calon presiden seperti Amin dan Wiranto juga belum terlihat mengalami kemajuan berarti dalam masalah sikap elektoral warga.

Jusuf Kalla sebagai pemimpin partai besar juga bermasalah dalam sikap elektoral warga.

Sutiyoso yang sudah menyatakan akan maju sebagai calon presiden juga belum menunjukan tanda-tanda kemajuan dilihat dari sentimen pemilih.

Yang menarik adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X. Di luar SBY dan Megawati, ia adalah tokoh yang mendapat sentimen elektoral (akan dipilih) cukup lumayan, dan kecenderungannya menguat dalam 3 tahun terakhir meskipun masih jauh di bawah SBY dan Mega.

Angka 7% bagi Sultan mengingatkan angka yang kurang lebih sama pada SBY sekitar satu tahun menjelang pemilihan Presiden.
Bila SBY gagal dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi, dalam menekan tingkat pengangguran dan angka kemiskinan, dan bila ada “momentum politik” tertentu, Sultan mungkin menjadi figur potensial menang dalam pemilu 2009.

Download Document :
Sentimen Ekonomi Politik 2008.pdf

GusDur Tolak Datang Ke Israel

Jakarta, gusdur.net
Presiden Israel Shimon Peres mengundang mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam perayaan 60 tahun Negara Israel di Yerusalem.

Dalam suratnya, Peres mengundang Gus Dur sebagai tamu khusus dan narasumber dalam konferensi yang diselenggarakan Kantor Presiden Israel bertajuk Facing Tomorrow. Konferensi ini digelar di Yerusalem dari 13-15 Mei 2008.

“Saya tidak ragu bahwa Anda adalah orang yang memiliki visi. Kami sangat menanti partisipasi Anda dalam konferensi ini,” kata Simon Peres dalam surat resminya kepada Gus Dur pertanggal 6 Januari 2008.

Menurut Peres beberapa tokoh dunia sudah menyatakan kesediaannya akan hadir. Seperti diberitakan Associated Press tokoh-tokoh yang dijadwalkan hadir adalah, Presiden AS, George W.Bush, Barbra Streisand, Tony Blair, Mikhail Gorbachev dan raja media, Rupert Murdoch. Termasuk diplomat AS kawakan Henry Kissinger, peraih Nobel, Elie Wiesel, mantan Presiden Cekoslovakia Vaclev Havel, Profesor Harvard Alan Dershowitz, pendiri Google Sergey Brinn, pendiri Facebook Markus Zuckerman, pimpinan Tata Group India Ratan Tata. Jutawan AS Sheldon Adelson.

Gus Dur adalah satu-satunya undangan dari negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Namun Gus Dur tidak bisa memenuhi undangan Presiden Israel tersebut. Alasannya karena pada 4 Mei 2008, ia harus bertolak ke Amerika Serikat. Dijadwalkan, Gus Dur akan menghadiri upacara penyerahan penghargaan dari salah satu organisasi non pemerintah di Negri Paman Sam itu. (GF)

Aksi Destablisasi Cina di Asia Tenggara

Rupanya bukan Amerika Serikat saja yang bikin kisruh di kawasan Asia Tenggara dan ASEAN pada khususnya. Kali ini, Republik Rakyat Cina pun ternyata cukup berpotensi untuk menciptakan situasi yang keruh di kalangan negara-negara anggota ASEAN. Mau bukti? Minggu lalu, tepatnya pada 6 Februari lalu, Global Future Institute (GFI) menggelar diskusi terbatas dengan beberapa analisis intelijen strategis dan pakar politik internasional. Pokok bahasan cukup menarik: Membayangkan berbagai skenario hubungan Amerika-Cina pada 2010.

Ternyata ada temuan yang cukup menarik dalam perbincangan yang tersebut. Yaitu perlunya mewaspadai Cina sebagai kekuatan adidaya baru di Asia yang pada giliranya bisa memecah-belah persatuan dan kekompakan negara-negara ASEAN sebagai anggota perhimpungan negara-bangsa di kawasan Asia Tenggara. Menurut informasi yang berhasil terhimpun melalui diskusi tersebut, ternyata sejak 2005 Cina sudah mulai mengaktifkan kegiatannya di beberapa wilayah yang masih masuk dalam kategori “Wilayah Sengketa(Dispute Territory) yang berada di Laut Cina Selatan.

Misal, dengan sengaja dan secara terencana memperbanyak jumlah kapal penangkapan ikan dan kapal-kapal Angkatan Lautnya di Teluk Tonkinsky, Pulau Parasel serta Kepulauan Spratli. Di wilayah-wilayah yang masih menjadi sengketa berbagai negara tersebut, terungkap bahwa Cina telah memprakarsai didirikannya bangunan-bangunan dan gedung-gedung baru di pulau-pulau sengketa tersebut.

Yang lebih krusial lagi, sebagaimana terungkap dalam diskusi terbatas di GFI tersebut, pemerintah Cina secara sepihak telah merebut beberapa pulau baru dan bahkan mendorong warga Cina di wilayah sengketa untuk mendiami dan menghuni secara permanent wilayah-wilayah sengketa tersebut.

Sepintas hal ini terkesan tidak terlalu berbahaya dari segi terciptanya stabilitas dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. Namun para analis intelijen strategis dan pakar politik internasional berpendapat bahwa tindakan Cina semacam itu, terutama operasi Angkatan lautnya di Laut Cina Selatan, bisa dibaca bahwa Peking berupaya dengan sengaja dan terencana untuk memperluas perbatasan negaranya serta memperkuat posisi militernya di wilayah sengketa yang dipandang Cina sebagai daerah strategis untuk mendukung kepentingan geopolitik dan geostrategisnya.

Yang krusial dari tren ini adalah, bahwa Cina diprediksi bakal terus melanjutnya proses perebutan pulau-pulau baru tersebut dengan menciptakan aksi destabilisasi di berbagai wilayah sengketa di kawasan Laut Cina Selatan.

Bahkan menurut salah satu sumber dari kalangan intelijen strategis menginformasikan bahwa Cina secara bertahap besar kemungkinan akan memasukkan beberapa desa di pulau-pulau sengketa tersebut ke dalam struktur administratif Provinsi Hainan. Jika prediksi ini terbukti jadi kenyataan di masa depan, tak pelak lagi bakal mengobarkan perselisihan territorial antara Vietnam dan Cina. Ini parallel dengan kecemasan yang berkembang di kalangan elit politik sayap kanan dan neokonservatif di Washington. Bahkan dalam bukunya The Clash of Civilization, pakar politik Amerika Samuel Huntington telah memprediksi bahwa jika pada 2010 nanti meletus perang antara Amerika dan Cina, maka pemicunya adalah penyerbuan militer Cina ke Vietnam.

Tapi okelah, itu baru salah implikasi yang kiranya perlu diantisipasi dalam mencermati skenario negara-negara adidaya seperti Amerika dan Cina pada 2010. Yang tak kalah penting untuk dicermati adalah fakta bahwa dalam perselisihan wilayah sengketa antara Beijing dan Hanoi tersebut, Cina sepertinya menolak untuk melibatkan perundingan ihwal status pulau-pulau sengketa tersebut secara multilateral dengan mengikutsertakan Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Padahal, ketiga negara tersebut merasa memiliki berhak juga atas pulau-pulau sengketa tersebut.

Dengan manuver diplomatik Cina hanya menggiring Vietnam dalam perundingan bilateral, nampaknya bisa menimbulkan tiga implikasi serius bagi ASEAN dan kawasan Asia Tenggara pada khususnya. Pertama, Cina memang bermaksud untuk memecah-belah persatuan dan kekompakan negara-negara ASEAN secara politik dan diplomatic dalam kaitannya dengan klaim wilayah sengketa di Laut Cina Selatan. Maklum Vietnam, Indonesia, Malaysia dan Filipina juga tercatat sebagai negara-negara ASEAN.

Kedua, dengan menggiring perundingan ihwal wilayah sengketa ini secara bilateral antara Cina dan Vietnam, tentunya Cina berharap posisi strategis Vietnam secara diplomatik berada dalam posisi yang lemah. Apalagi secara de fakto, kekuatan ekonomi dan militer Cina jauh lebih kuat daripada Vietnam.

Ketiga, nah ini yang paling krusial. Manuver Cina yang kian agresif dan menyudutkan posisi Vietnam dalam soal Dispute Territory, hal ini akan dibaca oleh Amerika Seriakt sebagai niat Cina untuk meningkatkan eskalasi militernya di kawasan Asia Tenggara. Sehingga Amerika yang sebenarnya sudah bersiaga penuh dengan Armada Ketujuhnya di Asia Pasifik, tak pelak lagi seperti mendapat dalih dan momentum untuk melakukan eskalasi militernya pada skala yang sama dengan Cina.

Apalagi kalau benar Cina memang akan menggiring soal wilayah sengketa ini dengan memposisikan Vietnam pada posisi yang tersudut, maka Amerika akan melihat perkembangan ini sebagai peluang untuk merangkul Vietnam sebagai sekutu strategis di Kawasan Asia Tenggara dan ASEAN pada khususnya. Sehingga benarlah ramalan Huntington bahwa dalam perang Amerika-Cina pada 2010, Vietnam berada dalam konfigurasi persekutuan Amerika-Eropa Barat, sedangkan Cina berada dalam konfigurasi persekutuannya dengan negara-negara Islam seperti Iran-Saudi Arabia-Pakistan. Sedangkan Indonesia, India, Jepang dan Australia, begitu menurut ramalan Huntington, akan berada dalam posisi netral.

Indikasi adanya upaya Amerika untuk merangkul Vietnam dalam suatu persekutuan di bidang pertahanan dan keamanan sebenarnya sudah terlihat sejak Oktober dan November 2007, ketika kapal militer Angkatan Laut Amerika mengunjungi pelabuhan Vietnam. Bahkan pada 3-5 Desember 2007,kedekatan kedua negara tersebut semakin intensif dengan kunjungan Wakil Sekretaris Menteri Luar Negeri Amerika bidang politik dan militer. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan penting tersebut, untuk pertama kalinya pimpinan politik Vietnam tertarik untuk mengadakan latihan militer bersama dengan negara Paman Sam tersebut.

Bisa dipastikan ini merupakan sinyal tanda bahaya karena bisa merugikan stabilitas regional di kawasan Asia Tenggara. Karena itu negara-negara ASEAN, utamanya Indonessia sebagai negara terbesar ASEAN, perlu secara lebih aktif memprakarsai perundingan ihwal penyelesaian perselisihan diplomatic di wilayah sengketa tersebut dengan menggunakan mekanisme ASEAN+1 atau ASEAN plus Cina. Sehingga lingkup perundingan diplomatik bersifat multilateral sehingga bisa menetralisasi persoalan dispute territory hanya sekadar sengketa antara Cina dan Vietnam. Melainkan menjadi persoalan klaim negara-negara ASEAN versus Cina. Dengan begitu, posisi strategis ASEAN berhadapan dengan Cina akan semakin kuat. Sekaligus mencegah destabilisasi kawasan ASEAN dengan menggunakan konflik bilateral Cina-Vietnam sebagai faktor pemicu menajamnya pertarungan terbuka Cina-Amerika di Asia Tenggara.

Yang juga harus diperhitungkan Cina, manuvernya dalam berupaya menguasai pulau-pulau sengketa tersebut, pada giliranya juga akan memperburuk hubungahn diplomatik Cina dengan negara-negara ASEAN. Dan ini justru akan ironis mengingat saat ini hubungan Cina dan ASEAN justru sangat baik dan bahkan lebih erat dibandingan hubungan Amerika-ASEAn di era Presiden George W Bush saat ini yang mana kecenderungan politik luar negerinya yang agresif, militaristic dan eskansif sebagaimana diperagakannya di Afghanistan dan Irak, ternyata telah mengundang antipati dan permusuhan dari berbagai negara berkembang termasuk ASEAN.

Karena itu akan menjadi ironis ketika di tengah-tengah eratnya hubungan Cina-ASEAN, Amerika justru mendapat momentum untuk memperbesar kembali kehadiran militer dan pengaruh ekonominya di Asia Tenggara dengan dalih adanya ancaman dari Cina.

Hendrajit

Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute(GFI)

BUMN Dalam Kondisi Semakin Berbahaya

Dalam rangka memperbaiki kondisi ini, seharusnya BUMN lah yang menjadi garda terdepan mendorong stimulus pertumbuhan ekonomi, sehingga tercipta lapangan pekerjaan, dan menghasilkan sesuatu yang positif bagi bangsa Indonesia. Yang saya kecewa sekarang adalah dengan adanya rencana penjualan 37 BUMN lagi, tetapi rencananya seakan hanya untuk kebutuhan dana saja akibat Negara kekurangan dana, salah satunya akibat BLBI.

I. Pendahuluan

Kita belum belajar juga ketika Era penjualan BUMN masih terus dilakukan tetapi kemaslahatan yang diharapkan dari penjualan itu belum juga dirasakan masyarakat, yang terasa malahan akibat buruknya saja. Industri Telekomunikasi telah menjadi pelajaran yang paling nyata. Paling sederhana ketika dinyatakan KPPU, sebagai proses usaha yang cenderung monopoli, maka walaupun ada penolakan dari perusahaan telekomunikasi tersebut pada awalnya tetapi setelahnya sangat nyata pengaruhnya yaitu tarif telepon selular diturunkan. Ini aneh, ditengah semua harga pada naik, ternyata tanpa terbuka direncanakan sebelumnya ternyata tarif telepon bisa turun. Dan itu tidak akan terjadi jika tanpa protes dan tekanan yang dilakukan berbagai pihak di Indonesia.

Penjualan BUMN, pada era 1998-an dimaksudkan supaya korupsi, penyalahgunaan wewenang, termasuk menggunakan BUMN untuk supply dana politik bisa dihentikan, dan diharapkan Badan Usaha Milik Negara memberikan kemaslahatan. BUMN sejak dulu selalu menjadi cerita yang tragis, apakah rel kereta ditempat bekas perkebunan yang dipotongi kemudian dijual, atau menjadi tempat mewujudkan mimpi dimana soal hasil adalah soal lain lagi atau tempat perebutan Ghonimah/pampasan perang. Sudah saatnya BUMN menjadi tempat yang mampu menggerakan perekonomian Indonesia serta menjadi Bumper tertentu untuk sebuah kepentingan nasional.

II. Aplikasi Teori menjadi Dagang yang bermanfaat

Zaman tahun 1989-1990 adalah masa dimana kami mencoba mengaplikasikan pengetahuan dan latihan selama beberapa tahun ketika menjadi mahasiswa. Praktek pertama yaitu melakukan penyederhanaan jaring distribusi hasil produksi untuk para karyawan. Selama setahun setengah bersama Ir. Bagus Satrianto, Rustam Effendi. Thayiib, dll. Kami juga dibimbing oleh Dr. Mashudi dan Dr. Saleh Safradji yang ditugasi khusus oleh Bapak Dr. Muslimin Nasution. Ketika itu Pak Muslimin Nasution adalah Ketua Balitbang Departemen Koperasi. Dan koperasi karyawan Jakarta sebagai pilot project dimana kami mencoba mendapatkan persetujuan dan menjalankan pola agar para karyawan tidak akan menjadi sulit ketika gaji naiknya tidak sebanding dengan kenaikan harga barang-barang. Hal ini terutama barang yang menjadi hasil peroduksinya diantara para pekerja tersebut. Konsepnya adalah bisa saling silang hasil produksi dengan memperpendek jaringan distribusi dan kemudian secara bertahap karyawan meningkat kesejahteraannya. Pola ini juga akan mendorong terjadinya sinergy antara pemilik perusahaan dengan karyawan, ketika karyawan semakin berkemampuan maka akan masuk ke sebuah sistim yang dinamakan karyawan punya saham diperusahaan tempatnya bekerja. Sungguh indah mimpinya.

Ujungnya adalah ketika semua pihak menyatakan konsepnya sangat bagus dan benar-benar berguna. Hanya yang aneh, konsep itu tidak pernah dijalankan. Kami ketika itu, hanya berpikir bahwa konsep yang dibuat itu tidak dijalankan karena kami masih muda dan belum matang sehingga harus belajar menerima realita bahwa setelah semuanya siap kami harus menerima kenyataan, ya sudah diterima saja dengan iklas. Beberapa tahun kemudian kami tersadar bahwa muncul pola perdagangan grosir dan persis seperti yang kami konsepkan ketika itu, hanya saja orientasinya berbeda. Orientasi kami dulu lebih kepada pemberdayaan karyawan pabrik yang utamanya baru kepada anggota masyarakat lainnya dan yang muncul ketika itu adalah perdagangan dengan daya tarik memberikan harga lebih murah dibandingkan barang-barang yang di jual toto-toko umumnya.

Pada awalnya kami tidak sadar adanya fenomena ini adalah seperti yang pernah kami konsepkan. Dan itu akhirnya bagi kami pun tidak menjadi masalah sepanjang memberikan manfaat bagi banyak orang. Sekarang, ternyata konsep itu semakin berkembang di Indonesia dengan masuknya raja-raja retail dari seluruh dunia ke Indonesia. Dan sekarang retail-retail di Indonesia pun sudah dibeli oleh mereka (supermarket asing), menarik uang dari rakyat Indonesia untuk dibawa keluar negeri. Perdagangan dalam negeri saja sudah dikendalikan, bagaimana mau dagang keluar negeri?

Kenapa begitu yakin bahwa ini akan menarik uang dari Indonesia ke luar negeri? Alasannya sangat sederhana. Ketika produsen yang paling tinggi nasionalismenya di masyarakat Indonesia, yaitu petani, peternak dan penambang semakin sulit maka yang akan terjadi adalah aliran berbagai kebutuhan untuk masyarakat Indonesia akan masuk mengisi pasar-pasar di Indonesia. Akibatnya sangat nyata para produsen asli Indonesia pun akan sulit berproduksi dan jika melakukan aliansipun posisi tawarnya tidak sekuat sebelumnya.

Pembebasan pajak Impor, peningkatan biaya export dan penghilangan subsidi untuk produk-produk strategis jika dilakukan pada saat yang tidak tepat, bukannya akan menguntungkan Negara dan bangsa ini tetapi malahan akan menurunkan produktifitas, menciptakan pengangguran dan kesulitan ekonomi dan sangat mungkin menciptakan keresahan serta kesejangan sosial, apakah ini yang diharapkan? Ujungnya sudah jelas, kita bisa melihat bahwa beberapa Negara sekarang sudah menjadi daerah konflik, apakah kita mau dijadikan tempat konflik oleh pihak lain sehingga bangsa ini terpuruk.

Bagaimana mungkin bisa membawa kemaslahatan jika BUMN, di jual dan diprioritaskan kepada perusahaan asing, serta kalau membangun konsorsium terlihat sebagai pemegang saham minoritas. Disisi lain membeli perusahaan diluar negeri dengan bersinergy tidak dengan perusahaan lokal Indonesia. Persepsi yang didapat ketika persoalan BUMN dijual dan berinvestasi di Luar negeri ini ditanyakan kepada beberapa kawan, jawabannya adalah: alasan perusahaan lokal tidak menjadi prioritas adalah nanti menjadi ketahuan akal-akalannya atau jika dengan perusahaan asing aliansinya, pendapat orang seakan-akan untuk mendapatkan profesioanalisme dan perluasan jaringan, padahal sebenarnya supaya main-matanya tidak dapat diketahui. Hal ini juga yang terjadi ketika BUMN akan mengambil perusahaan asing diluar negeri jika mengajak mitra lokal sangat mungkin ada informasi yang bocor juga?

Jika celotehan celotehan ini benar dan begitu adanya, sungguh kasihan Negara Indonesia ini, sejak setelah merdeka sampai saat ini rakyatnya tetap saja hanya menjadi objek yang diagung-agungkan mendapatkan tempat tertinggi dalam sistim ketatanegaraan, tetapi pada kenyataannya hanya menjadi penonton yang mendapatkan ampasnya saja belum tentu tetapi sangat nyata menerima resiko akibat tindakan para pejabat negeri ini. Contoh nyatanya banjir, longsor, dan berbagai bencana alam lainnya langsung menghantam kehidupan anggota masyarakat ketika itu terjadi. Persoalannya apakah ini akan terus dibiarkan dan terjadi terus? Atau kita lakukan sesuatu sehingga menjadi lebih baik, menurut saya pilihannya tidak boleh dibiarkan.

III. Bagaimana langkahnya?

Yang paling sederhana, sudah cukup jika hanya menjual BUMN dan dananya hanya dibawa ke luar negeri untuk membeli perusahaan asing alasannya sederhana, kita belum hilang trauma yang lama akibat, kebiasaan mengutip, penyalahgunaan wewenang dan contoh kejadian-kejadian di masa lalu sampai sekarang yang belum selesai.

DPR dan para tokoh politik sangat baik jika mempertanyakan kembali rencana penjualan BUMN ini dan rencana investasinya kedepan, semuanya harus dapat dipertanggung jawabkan serta tidak lagi menjadi main-main yang membahayakan Negara dan bangsa Indonesia.

Pemerintah sudah sangat nyata ingin membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kenapa penjualan BUMN ini tidak ditawarkan juga kepada perusahaan daerah dan pengusaha daerah jika kebetulan beroperasi di daerah dan perusahaan nasional sambil meneruskan aliansi dengan perusahaan asing yang kuat. Alasannya dalam negeri makin kuat dan solid serta terjadinya synergy dengan profesioanlime serta acuntabilitas international. Jangan teruskan hal-hal yang hanya menguntungkan kepentingan jangka pendek tertentu apalagi bisa menghasilkan problem yang meltidimensi pada akhirnya. Hal ini bisa saja tidak mudah karena merubah pola yang sudah berjalan tetapi jika niat Pemerintahan sekarang kuat, maka inilah saatnya melaksanakan penerapan strategy tersebut.

Semua orang yang punya hati dan memikirkan nasib bangsa Indonesia kedepan harus segera bersuara, karyawan BUMN sudah pada teriak dan berdemontrasi tetapi keputusan yang seharusnya dirubah ini tetap saja dijalankan. Stop penjualan BUMN termasuk berinvestasi diluar negeri dengan perusahaan asing sebelum terjadinya pembenahan didalam negeri secara solid. Negara ini menjadi semakin sengsara akibat besarnya dana yang dibayarkan untuk BLBI, sdr Marwan Barubara anggota DPD DKI, Imam Sugema, Bambang Widyoyanto dan Prof Sri Edy Swasono serta sdr Ismeth telah mengatakan hal itu pada lebih dari 70an acara seminar dan diskusi, lalu bagaimana jadinya jika kekayaan Negara di BUMN ini juga tiba-tiba sudah habis, bablas lah angine, rakyat cuma menjadi penonton dan kebagian susahnya saja.

Silakan saja dipikirkan lebih lanjut hanya jika memang pikiran pikiran ini benar maka marilah kita lakukan bersama sama bahwa sudah tidak ada jalan lagi, berhentikan tindakan yang membahayakan republik. Sekarang juga

IV. Penutup

Sangat mungkin kecil sekali pengaruh tulisan ini karena para tokoh besar pun ketika menyuarakan keprihatinan tentang kepentingan nasional ini kelihatannya tidak berpengaruh. Sebagai warga negara, kalaupun hanya sebagai orang biasa sungguh tidak dapat membiarkan kejadian ini berjalan begitu saja, apalagi kondisi ini terjadi dimana berbagai kesulitan sedang kita rasakan. Kita sebagai bangsa butuh kebanggaan, butuh kebersamaan dan butuh secara bersama sama menjaga bangsa ini.

Saya tidak ingin kita semua cuma bisa menyesali nasib dan saling menyalahkan tanpa kita berusaha dengan sungguh sungguh sehingga pemerintahan pun ketika melakukan penjualan serta investasi membeli perusahaan asing diluar negeri merasa bahwa itu tepat saja, tanpa memandangnya bisa kontraproduktif terhadap strategy pembangunan Nasional Indonesia.

Ada 37 BUMN yang akan di ajukan untuk restrukturisasi di tahun 2008 yang sudah disiapkan: Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), Bank Tabungan Negara (BTN), Djakarta Lyod, Krakatau Steel, Industri Sandang, PT INTI, Rukindo, Bahtera Adiguna, PTPN III, PTPN IV, PTPN VII. Sarana Karya, Semen Baturaja, Waskita Karya, Sucofindo, Surveyor Indonesia, Kawasan Berikat Nusantara, Kawasan Industri Medan, Kawasan Industri Makassar, Kawasan Industri Wijaya Kusuma. Bank Negara Indonesia, Adhi Karya, Pembangunan Perumahan, Surabaya Rungkut, Rekayasa Industri, PT Dirgantara Indonesia, Boma Bisma, PT Bharata, PT Inka. Dok Perkapalan Surabaya, Dok Perkapalan Koja Bahari, Birama Karya, Yodya Karya, Kimia Farma, Indofarma, PT Kraft Aceh, Industri Kapal Indonesia. Tapi daftar ini belum final.

Silakan direnungkan dan dicermati usulan yang sebenarnya sudah cukup banyak diusulkan banyak saudara-saudara kita.

Semoga bangsa Indoensia dilindungi dan diberkahi NYA dan kita dapat memilih jalan yang lurus serta mendapatkan kebaikan serta ridho NYA.

Agus Muldya Natakusumah

Indosolution

Indonesia Butuh Intelijen Ekonomi

JAKARTA - Di bawah rezim Orde Baru, lembaga intelijen identik dengan institusi yang bertugas memata-matai rakyat. Stigma ini belum hilang, bahkan setelah Soeharto terjungkal enam tahun lalu.
Banyak hal yang perlu dibenahi di tubuh Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menghapus stigma itu, termasuk restrukturusi internal lembaga tersebut dan koordinasi antarintelijen di lembaga lain.
Di bawah ini, wartawan SH, Fransisca R.Susanti dan Emmy Kuswandari mewawancarai Deputi VII Bidang Operasional dan Teknologi BIN Bijah Subijanto di Jakarta, akhir pekan lalu. Selain soal kontroversi RUU Intelijen, terorisme, dan separatisme, Bijah juga mengemukakan keprihatinannya tentang hilangnya aset ekonomi Indonesia sehingga ia merasa perlu melontarkan gagasan soal intelijen ekonomi.
Berikut petikan wawancaranya:

Selama ini Badan Intelijen Negara (BIN) dituding lamban menyediakan informasi, terutama terkat dengan isu-isu terorisme. Bagaimana sebetulnya evaluasi terhadap kinerja BIN sendiri?

Ukuran kinerja intelijen itu adalah kalau sudah menyediakan informasi awaldan informsi kini tentang sesuatu. Sebelum bergerak kita itu sudah nguping, sudah merasakan. Khusus mengenai terorisme, saya katakan bahwa jaringan terorisme internasionalnya, sumber pendanaan, orang-orang yang terlibat sebenarnya sudah kami sampaikan.
Kalau untuk menentukan, cukup banyak sebenarnya dari orang-orang eks Afhganistan, eks Moro, semua ini sebetulnya sudah kita sampaikan. Hanya memang sistem kerja kita memang suram.
Kita ini tidak pernah bekerja secara sistem. Harusnya, informasi intelijen itu dijadikan acuan. Misalnya oleh kepolisisan, imigrasi, atau bagi Deplu untuk melakukan tindakan pencegahan yang mungkin.

Akar masalahnya apa? Apakah tidak ada koordinasi antara lembaga atau karena kredibilitas BIN yang tidak dipercaya oleh lembaga-lembaga lain?
Yang pertama, ya kredibilitas. Kredibilitas itu bukan karena memang BIN tidak kredibel. Memang BIN tidak dibuat kredibel.
Ini menurut saya ada unsur-unsur tertentu. Saya tidak pernah menyatakan di antara komponen bangsa menjadi sumber-sumber ancaman, bisa saja oknum-oknum tertentu yang melakukan sesuatu terhadap kinerja BIN yang sangat tinggi, dia jadi terancam.
Karena memang dulu intelijen didayagunakan untuk mengamat-amati rakyat kita. Itu suatu kesalahan waktu itu dan sekarang sudah tidak cocok. Sekarang rakyat biar saja diberikan kebebasan dan bergerak maju, kalau terjadi penyimpangan, hukum saja yang bertindak.

Memori itu ada di rakyat?
Ya. Dan stigma seperti itu yang menyulitkan kerja intelijen. Jadi dia tidak dipercaya dan saya menduga ada yang ingin supaya intelijen tidak dipercaya, walau cuma satu dua gelintir orang, baik dari dalam atau luar negeri.
Indikasi-indikasi itu sebetulnya sangat banyak. Bang Buyung (Adnan Buyung Nasution - red) selalu nyatakan pada saya, pengalaman traumatik beliau, kalau dulu inteljen itu menyiksa dan sebagainya. Sebetulnya yang dia derita itu bukan kerja intelijen. Mungkin orangnya intelijen, tetapi pekerjaannya bukan pekerjaan intelijen. Karena kalau kerja intelijen itu pakai knowledge, pakai otak.

Bukankan cara-cara kekerasan masih banyak juga digunakan untuk mendapatkan data intelijen?
Menurut saya, kekerasan tidak akan memberikan jaminan bahwa dia akan mengaku. Sekarang sudah ada teknologi. Teknologi yang menggunakan impuls-impuls detak jantung, darah, dan sebagainya.
Kalau dia bohong denyutnya berbeda dengan apa yang dia katakan. Jadi kalau ada ketakutan bahwa penahanan itu akan dijadikan alat untuk menangkap sembarangan dan sebagainya itu tidak mungkin. Zamannya sudah berbeda.
Zaman Orba karena otoriter itu mungkin dilakukan. Kalau sekarang saya kira tidak ada satu pun orang intelijen yang melakukan itu. Karena melakukan itu kan bunuh diri.

Kolekting data inteljen kita dulu cukup cakap, kenapa sekarang menurun?
Syarat intelijen itu harus dipercaya. Karena kalau tidak dipercaya, hasil inteljen yang dilakukan ya untuk apa.
Kedua, sebetulnya selama ini inteljen lebih dipayungi oleh kekuasaan yang sangat kuat sehingga dia sebetulnya bekerja dalam kondisi yang relatif mudah. Karena pemerintahnya zaman Suharto sangat kuat, jadi inteljen bekerja dalam kondisi kondusif.
Itu sebetulnya positifnya bisa kondusif dan efektif, tetapi negatifnya dia memang bisa abuse of power, abuse of otority. Nah, sekarang saya selalu sarankan kapasitas dan kapabilitas intelijen terus diperkuat, tapi harus diawasi.
Ketiga, dalam proses transisi seperti ini memang intelijen sangat sulit karena dinamika masyarakat itu sangat cepat dan cenderung tidak teratur. Kalau proses transisi itu memang cenderung tidak teratur.
Keempat, teknologi intelijen kita zaman dulu itu sangat kuat dan sekarang tidak. Sekarang ini baru dibangun kembali teknologi itu. Padahal di Amerika, direktur teknologi itu ada direktur teknologi signal intelgence ada direktur bidang image intelijen.
Kalau kita masih dijadikan satu. Kalau kita orangnya sekitar 10 orang saja untuk deputi teknologi. Amerika sudah 6.500 orang, Australia 1.652 untuk divisi teknologi, dan Malaysia sudah 200-an orang. Kita terlalu mengandalkan pada payung kekuasaan waktu itu. Sehinga teknologinya makin lama-makin menurun.

Bagaimana dengan perluasan wewenang yang diinginkan BIN, termasuk wewenang penangkapan?
Kalau penangkapan tidaklah. Kalau BIN diberi hak atau diberi otoritas untuk meminta informasi dari orang yang diduga mengetahui masalah terorisme, itu boleh. Itu sifatnya informasi biasa. Pertanyaannya pun bukan dalam kapasitas sebagai terdakwa, tetapi sebagai informan. Yang menentukan terdakwa atau tidak, ya polisi.
Bunyinya (dalam draf RUU Intelijen –red) harusnya intelijen diberi kewenangan untuk meminta informasi pada orang-orang yang dicurigai dan orang-orang yang dimintai informasi wajib memberikan informasi. Itu intinya, bukan menahan.
Bagaimana dengan latar belakang Kepala BIN? Ada usul dari Komisi I DPR agar Kepala BIN berasal dari sipil? (saat wawancara ini diturunkan, Presiden melantik mantan Kepala Bais, Syamsir Siregar sebagai Kepala BIN-red)
Badan intelijen yang kuat dulu sebetulnya intelijen militer yang Bais (Badan Intelijen Strategis). Begitu BIN muncul ke depan, dalam kondisi lemah. Sipil boleh saja mengatakan kita mampu, tapi menurut saya ini tidak jujur bilang seperti itu, karena memang dulunya intelijen militer yang berperan. Dan intelijen sipil tidak ada persiapan untuk menggantikan posisi ini. Tetapi ada saja yang bilang sipil sudah kuat.
Dengan pengalaman ini saya yakin kita memang harus berbenah. DPR katakan bahwa sipil yang harus pimpin BIN barangkali iya artinya kepala BIN sipil, wakilnya harus militer. Komposisinya seperti itu. Harus melihat sejarah bahwa dulu yang kuat itu dari militer. Saya juga setuju dari sipil, asal tidak dipaksakan. Darimana saja asal kapabel. Jangan rebutan. Bahaya kalau didikotomikan sipil militer.

Apa prioritas target BIN, sekarang?
Kalau sekarang terorisme, separatisme, konflik sosial, dan intelijen ekonomi. Ekonomi kita itu hancur lebur karena intelijen asing.

Soal intelijen ekonomi, sudah jadi wacana bersama di BIN?
Sampai sekarang belum. Saya yang sangat getol.

Bisa berikan gambaran tentang intelijen ekonomi?
Intelijen ekonomi ini tidak hanya di entitas ekonomi bangsa tetapi juga swasta. Contoh sederhana bagaimana aset yang sangat penting dan strategis bagi bangsa dan negara seperti Indosat bisa jatuh kepemilikannya ke tangan asing.
Inikan ketidakcermatan intelijen ekonomi kita. Kalau cermat tidak mungkin terjadi. Ini saya akui saja. Penggunaan satelit berseliweran di angkasa kita ini. Kalau intelijen kuat tidak bakal terjadi. Penggunaan bandwidth asing untuk internet dan sebagainya. Bandwidth kita banyak yang idle kok pakai bandwidt asing.

Tapi banyak yang tidak menyadari soal ini?
Sekarang ini kalau intelijen seolah-olah terorisme. Politik itu dinamika, jadi biar saja. Cukup simpul yang ekstrim dan berbahaya saja yang harus diamati. Kalau dinamika diamati ya lelah sendiri, wong itu dinamika politik.
Justru kalau dinamika itu naik turun tetap aja akan berjalan maju. Jangan dibatasi. Tapi kalau yang bahaya seperti ekonomi, atau mau ngebom, yang mau jatuhkan kredibilitas negara kita, yang mau hancurkan TNI, atau aparat itu yang harus diawasi. Dinamika politik itu harus jalan. ***

PERLUNYA ECONOMIC INTELLIGENCE DALAM PENGELOLAAN MONETER DAN PERBANKAN NASIONAL

Berakhirnya perang dingin di abad 20 telah menyebabkan adanya perubahan mendasar dalam definisi keamanan nasional. Saat ini keamanan nasional suatu negara lebih banyak dilihat dalam aspek kekuatan ekonomi daripada kapabilitas militernya. Lebih jauh lagi, tantangan terhadap perekonomian negara timbul seiring dengan semakin kuatnya paradigma “globalisasi”. Dalam ekonomi global tidak ada lagi perbedaan atau jarak dalam hubungan ekonomi domestik dan internasional.Dengan semakin cepatnya perputaran roda persaingan dalam lingkup nasional maupun internasional, proses inovasi dan peningkatan daya saing perlu dipercepat pula.
Pertanyaan mendasar adalah: Dapatkah suatu proses inovasi dan peningkatan daya saing usaha yang biasanya memakan waktu 2 tahun dapat dipercepat menjadi 2 bulan?
Untuk menjawab pertanyaan itu, dibutuhkan suatu terobosan yang dapat mengantarkan kita kepada percepatan untuk melakukan inovasi, terobosan tersebut dimungkinkan dengan kata kunci yang disebut dengan “Economic Intelligence”. Economic Intelligence (EI) atau intelijen ekonomi masih merupakan bidang baru di Indonesia pada umumnya, kendatipun riaknya sudah mulai terasa dan dikembangkan oleh beberapa institusi baik swasta maupun pemerintah, saya yakin dalam beberapa tahun mendatang Economic Intelligence di Indonesia akan semakin dirasakan penting/strategis bahkan dapat dianggap sebagai tools andalan yang harus menjadi bagian dari strategi bisnis suatu institusi (profit maupun non profit organization, swasta maupun pemerintah) bahkan untuk pelaku –pelaku individu.
Dalam skala global, saat ini “term EI” muncul seiring dengan perkembangan teknologi informasi (seperti revolusi Internet, database komersial international, datamining, bibliometri, searching engine, knowledge management, …) yang tak terelakkan. Kendatipun sebenarnya EI merupakan praktik lama, yaitu semenjak adanya persaingan/kompetisi dalam menentukan berbagai strategi untuk pencapaian tujuan, bahkan jauh sebelum revolusi IT seperti saat ini.
Belakangan ini EI merupakan senjata dalam kancah perang ekonomi (meliputi bisnis, industri, teknologi, perbankan dan sebagainya) yang dilakukan oleh para pelaku bisnis maupun dalam skup kenegaraan bahkan dalam skup multilateral countries seperti di Eropa (ex. Centre de Veille yang berpusat di Luxembourg dan Knowledge Management Centre di Belgia) dan Amerika Latin (ex. Inter American Development Banks).
Dalam EI kita dituntut kerjasama antar sector secara lebih luas, kita tidak dapat bekerja sendiri, namun perlu partisipasi sinergis antar berbagai lembaga strategis negara, swasta, militer/kepolisian, wartawan, pengamat dan individu-individu lainnya, sehingga tepat kiranya partisipasi dalam seminar pagi ini yang mengundang para pembicara dan audience dari berbagai kalangan.
Ada sebagian pakar EI yang mengatakan bahwa maju mundurnya suatu negara adalah tergantung kepada kemampuan/kekuatan negara tersebut di bidang intelijen ekonominya. Hal ini juga tentu berlaku untuk nilai kompetitivitas institusi atau perusahaan bisnis kita. Di dunia bisnis negara-negara maju, hasil rekomendasi dari economic intelligence unitnya sering menentukan arah dari perusahaan tersebut (ex. Renault, L’Oreal, Hewlett Packard, IBM, …).
Jadi sedemikian pentingnya EI dalam menentukan tingkat kemajuan suatu institusi/bangsa melalui berbagai rekomendasi intelijen seperti untuk melahirkan inovasi-inovasi baru (ex. Inovasi produk dalam perbankan dan system pembayaran) serta untuk menopang penentuan kebijakan-kebijakan strategis.
Perlu ditekankan disini bahwa EI tidak sama dengan kegiatan “spionase”. Kegiatan spionase berkonotasi illegal, sedangkan EI merupakan kegiatan legal. Pada dasarnya EI melakukan pemilahan dan pemrosesan data/informasi dan knowledge yang ada (formal dan informal), sehingga dapat dihasilkan suatu “new knowledge” (intelligence) atau sering disebut informasi strategis.
Seperti diketahui, bahwa salah satu hal yang berpengaruh dalam citra dan kredibilitas suatu institusi (khususnya untuk “non profit organization”) adalah sisi kualitas dari keputusan yang diambilnya, bagaimana institusi tersebut dapat responsif dan progresif terhadap berbagai tuntutan serta gejala aktual, terutama yang sehubungan dengan aspek-aspek ekonomi makro dan berbagai kemelut ekonomi yang ada diseputar kita seperti saat ini. Hal ini berarti, bahwa pengambil kebijakan di suatu institusi tersebut perlu didukung oleh penyediaan informasi yang relevan terutama informasi strategis.
Dengan alasan inilah, kini Bank Indonesia sedang mengkaji dan mempertimbangkan penerapan EI di dalam struktur /model yang sesuai dengan kepentingan Bank Indonesia. Pendefinisian model EI yang akan diterapkan dapat disesuaikan dengan iklim, budaya dan kepentingannya masing-masing, sehingga kita dapat saja mengenal model EI yang berbeda di berbagai instusi, perusahaan atau negara, seperti model EI di Eropa akan berbeda dengan di USA maupun Jepang.
Seperti kita ketahui bersama, bahwa Indonesia sebagai bagian integral dari sistem ekonomi dunia, tentu tidak bisa lepas dari berbagai pengaruh, kebijakan serta trend-trend global, yang tidak saja menyangkut sektor ekonomi tetapi juga menyangkut sektor-sektor lainnya seperti sosial, politik, budaya, hankam dan lain sebagainya. Hal ini berarti bahwa kita perlu senantiasa memperhatikan, mengamati dan melakukan analisis-analisis terhadap berbagai knowledge dari fenomena yang ada dan cara untuk memantaunya tentu melalui berbagai sumber informasi.
Sumber informasi ini sangat bervariasi, tidak saja berbentuk teks, audio, visual maupun dalam bentuk multimedia. Namun demikian secara umum dapat disarikan bahwa sumber informasi terdiri dari sumber informasi formal maupun informal. Dalam kondisi sekarang, di Indonesia masih dirasakan sulit untuk mendapatkan/akses ke berbagai sumber informasi tersebut, demikian juga dalam melakukan analisisnya secara otomatis. Hal ini tentu berbeda dengan negara-negara yang sudah maju, dimana proses akses/mendapatkan serta mengolah informasi itu sudah jauh lebih baik.
Dalam skala nasional, untuk meningkatkan kompetitivitas bangsa di berbagai bidang terutama di era persaingan global, Indonesia perlu melakukan langkah-langkah strategis terutama dengan meningkatkan koordinasi serta kerjasama sinergis dengan komponen bangsa lainnya, baik pribadi, kelompok masyarakat/organisasi terutama antar institusi baik pemerintah maupun swasta.
Langkah-langkah kerjasama itu, pada akhirnya akan membentuk jaringan informasi nasional yang dapat saling memberikan umpan balik positif, serta secara bertahap dapat menunjang pembangunan negara yang semakin kuat atau paling tidak upaya pemulihan ekonomi kita saat ini dapat secara gradual ditingkatkan.
Tanpa mentalitas kebangsaan dan semangat kebersamaan sebagai bangsa Indonesia, proses pemulihan ekonomi kita akan berjalan lamban atau tidak akan tercapai. Dengan demikian dalam EI juga diperlukan model mental (mentality model atau institutional culture) yang sesuai (seperti kepekaan terhadap informasi, creative dan innovative, coordinative, visioner, …) sehingga dapat berjalan optimal.

BEBERAPA BATASAN ECONOMIC INTELLIGENCE
Economic Intelligence (EI) memainkan peranan yang sangat penting dalam pengambilan keputusan-keputusan strategik dalam berbagai bidang (ekonomi, perdagangan, industri, dan sebagainya). Dengan adanya The Economic Espionage Act of 1996 di Amerika Serikat, EI berfungsi dalam mendukung negosiasi-negosiasi perdagangan serta membantu mengidentifikasi ancaman terhadap perusahaan-perusahaan Amerika yang muncul baik dari praktek spionase negara lain dan juga perdagangan yang tidak fair. Selanjutnya marilah kita mengenal beberapa batasan EI :
Komite Perencanaan di Perancis (1994) memberi definisi resmi mengenai EI yaitu “serangkaian aktivitas pengamatan, pengolahan dan proses penciptaan informasi strategis bagi pelaku ekonomi”. Lebih luas lagi, Francois Jakobiak memberikan definisi EI “tindakan-tindakan pengamatan terhadap berbagai informasi dan lingkungannya, dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis terhadap informasi tersebut yang ditujukan untuk pengambilan keputusan-keputusan strategis”.
Diane C. Snyder dan Sean Gregory dalam papernya memberi definisi bahwa “EI adalah segala intelligence mengenai sumberdaya, aktivitas, dan kebijakan ekonomi termasuk produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa, keuangan, pajak, perdagangan komersial, dan aspek-aspek lain dalam sistem ekonomi internasional”. Dan Garth Hancock dari Center of Trade and Commercial Diplomacy at the Monterrey Institute for International Studies menawarkan definisi “kebijakan atau informasi ekonomi yang relevan, termasuk data teknis, keuangan, komersial, dan informasi mengenai pemerintah, serta penanaman modal asing (baik langsung dan tidak langsung) yang dapat membantu secara relatif produktivitas atau kompetitivitas dari perekonomian sekelompok organisasi dalam suatu negara”.
Dalam kalimat yang sederhana, dapat pula dikatakan bahwa EI merupakan: “suatu metodologi untuk mencermati dan mengolah berbagai informasi maupun gejolak serta berbagai perubahan eksternal lainnya, yang memiliki dampak strategis pada organisasi dan berguna untuk pengambilan keputusan-keputusan strategis oleh pimpinan puncak organisasi”.
Dari definisi diatas, EI sangat berkaitan dengan penyediaan informasi strategis. Sebenarnya apa saja kriteria dari informasi strategis tersebut? Suatu informasi dikatakan “strategis” bila ;
1. Sangat terkait dengan CSF,
2. Merupakan hasil pengolahan dari multi sumber (formal/informal),
3. Hasil analisis bersama (Tim),
4. Tervalidasi dengan multi cross-checking process oleh expert group atau “knowledge workers”.

Dari paparan sebelumnya, perlu ditekankan disini bahwa ada 2 pilar penting dalam efektivitas EI yaitu “Networking” dan “Teknologi”, keduanya merupakan kunci utama keberhasilan dan kekuatan EI. Selain itu yang perlu diperhatikan adaptasi Economic Intelligence dalam suatu organisasi harus memiliki dukungan yang kuat dari Top level Decision maker (bahkan idealnya EI muncul dari keinginan dan kebutuhan yang kuat dari Top level Decision Maker). Selain itu kegiatan EI, harus memiliki fleksibilitas akses, anggaran serta daya dukung infrastruktur (IT, information management system, …) yang baik, dan tidak kalah pentingnya adalah dukungan SDM yang baik (kualitas, keragaman keahlian, mental EI, strategic, innovative, …).

<%ECONOMIC INTELLIGENCE DALAM PENGELOLAAN MONETER DAN PERBANKAN NASIONAL %>
Bidang Moneter
Perumusan dan kebijakan moneter maupun perbankan tidak akan tepat tanpa didasari oleh proses penelitian dan daya dukung sumber informasi yang akurat, disinilah Economic Intelligence mendapatkan tempatnya. Di tengah membanjirnya informasi, Economic Intelligence dapat dijadikan sebuah katalisator dalam penentuan informasi-informasi yang relevan dan valid, serta hasilnya dapat dijadikan alat untuk early warning system. Economic Intelligence memang bukanlah mukzizat yang menjanjikan solusi yang 100% tepat, akan tetapi paling tidak jangan sampai dikejutkan dengan hal-hal baru (critical issues strategis yang akan datang) yang sebelumnya tidak pernah terantisipasi.
Permasalahan ekonomi dan moneter yang terjadi pasca krisis ekonomi tidak sepenuhnya merupakan “fenomena ekonomi” di bawah domain Bank Sentral & Pemerintah. Sebagai ilusterasi, bagan 1.1 ( Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2001), menunjukkan bahwa identifikasi permasalahan ekonomi dan moneter tahun 2001 yaitu depresiasi dan volatilitas nilai tukar rupiah serta tekanan inflasi merupakan “linkages” antar variable ekonomi dan moneter yang relatif kompleks dan tidak seluruhnya merupakan “control” dari Bank Sentral.

Faktor – faktor yang mendorong semakin kompleksitas “linkages” antar variabale ekonomi & moneter antara lain :
1. Globalisasi ekonomi yang mendorong semakin terintegrasinya pelaku-pelaku ekonomi antar wilayah dan antar negara –negara di Dunia.
2. Revolusi tehnologi informasi yang semakin mempercepat “financial inovation” di pasar keuangan sehingga proses financial deepening & widening berjalan cukup cepat.
3. Indikator – indikator ekonomi lebih besar ditentukan oleh mekanisme pasar atau merupakan response dari pelaku pasar.

Dengan mempertimbangkan beberapa faktor tersebut, kecenderungan kebijakan ekonomi dan moneter saat ini lebih bersifat “signaling” dibanding melakukan “direct control policy”. Hal ini tercermin antara lain dari implementasi indirect monetary policy melalui pengendalian uang beredar atau pengendalian suku bunga serta penerapan sistem devisa bebas (free floating exchange rate).
Dari perkembangan fenomena moneter serta kecenderungan kebijakan ekonomi & moneter yang lebih bersifat “signaling” maka kebutuhan analisis yang bersifat forward looking sangat diperlukan yang ditujukan untuk mengetahui arah response dari pelaku ekonomi. Konsep Economic Intelligence (EI) sangatlah relevan dalam memenuhi kebutuhan dimaksud khususnya dalam upaya melakukan tindakan-tindakan pengamatan terhadap informasi ekonomi moneter dan informasi terkait, yang dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis terhadap informasi tersebut yang ditujukan untuk pengambilan keputusan strategis. Data dan informasi yang digunakan untuk mendukung analisis saat ini lebih cenderung bersifat “historical data”. Diharapkan dengan konsep EI nantinya akan mampu menyediakan data dan informasi yang lebih relevan untuk mendukung atau mengurangi resiko yang kemungkinan muncul sebagai akibat dari keputusan yang telah diambil. Kerangka kebijakan moneter yang menggunakan konsep “inflation targeting” sangat memerlukan information variable yang lebih lengkap dan akurat dari sektor moneter dan sektor lainnya , sehingga dapat dilakukan keputusan-keputusan yang dapat segera diresponse oleh pelaku-pelaku ekonomi.

Pra kondisi yang diperlukan dalam upaya penerapan konsep EI dalam pengendalian moneter antara lain :
1. Tersedianya “centralised monetary & economic database” yang akurat, comprehensive, timeliness dan terjamin periodesasinya. Bank Indonesia saat ini juga sedang mengembangkan “datawarehouse” yang nantinya merupakan pusat database ekonomi & moneter.
2. Dukungan tehnologi informasi yang terkini, sehingga mampu melakukan pengolahan data base dan tehnical analysis yang lebih cepat dan akurat sehingga mampu membantu mengidentifikasi data-data yang tersedia menjadi informasi sesuai dengan kebutuhan pengambil keputusan dan peneliti. Aplikasi “Datamining” merupakan salah satu solusi yang sedang dipertimbangkan oleh Bank Indonesia untuk mendukung tehnikal analysis dalam bidang moneter, perbankan dan pengembangan payment sistem di Bank Indonesia.
3. Tersedianya sumber daya manusia dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, yang diharapkan memiliki sense “market inteligent”, berorientasi teamwork, strategis, visioner serta keahlian dalam analisis praktis. Hal ini diharapkan mampu melakukan identifikasi dari kumpulan informasi baik yang formal maupun informal menjadi “selected strategy information/ knowledge information” yang berguna bagi pengambil keputusan.

Dalam pengembangan EI lebih lanjut, terdapat beberapa hal yang saat ini masih perlu mendapat perhatian bersama antara lain :
1. Type data-data indikator ekonomi & moneter serta data terkait lainnya di Indonesia yang masih memiliki time lag serta periodisasi yang berbeda –beda, sehingga sering menimbulkan “inkonsistensi” dalam rangka melakukan “linkages” analysis antar sektoral. Selain itu, masih terdapat data-data yang cukup relevan namun belum terstruktur sehingga masih belum dapat diolah menjadi informasi misalnya beberapa hasil survey yang insidentil.
2. Masih belum optimalnya “analysis makro-mikro” sehingga kebijakan makro yang diterapkan belum segera dapat diketahui dampaknya kepada pelaku mikro, sebaliknya indikator-indikator mikro belum sepenuhnya dapat segera diresponse oleh kebijakan makro.
3. Informasi –informasi informal yang tersedia, sering masih belum diyakini akurasinya karena responsibility yang relatif masih rendah. Hal ini informasi informal yang tersedia di pelaku-pelaku ekonomi sering diidentikan dengan isu atau rumor, sehingga menimbulkan kesulitan dalam mengukur kualitas informasi tersebut.
4. Belum optimalnya kemampuan sumber daya manusia yang memahami “linkages analysis” dari berbagai informasi lintas sektoral dengan tipe data yang berbeda – beda (multi cross checking process), serta kemampuan memisahkan data yang bersifat strategis non strategis.
Dengan optimalisasi penerapan EI di Indonesia, maka kontribusinya sangat diharapkan sebagai early wrning system dalam pengelolaan moneter saat ini dan antisipasi perkembangan selanjutnya serta mampu mempercepat proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung.

Bidang Perbankan
Sebagaimana diketahui bahwa perbankan nasional saat ini sedang dalam proses restrukturisasi. Proses restrukturisasi ini ditandai dengan diluncurkannya berbagai program penyehatan (rekapitalisasi, program penjaminan dan restrukturisasi kredit) serta program penguatan sistem perbankan (meliputi perbaikan infrastruktur, pengenalan Good Corporate Governance, dan pembenahan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan).
Restrukturisasi ini tidak hanya diterapkan bagi bank operasional saja namun juga berpengaruh kepada bagaimana Bank Indonesia harus melaksanakan pengawasan bank. Seiring dengan program restrukturisasi ini, Bank Indonesia melakukan pembenahan dalam rangka meningkatkan efektifitas pengawasan untuk menciptakan suatu kehidupan perbankan yang sehat, seperti tertuang dalam LOI dan BI Master Plan. Salah satunya adalah ; ‘penciptaan informasi dan dokumentasi pengawasan bank yang handal’.
Beberapa alasan mengapa faktor informasi ini menjadi salah satu kunci peningkatan efektifitas pengawasan, adalah sebagai berikut ;
1. Dengan dilaksanakan Fit and Proper Test bagi calon pengurus dan pemegang saham pengendali bank, maka menuntuk Bank Indonesia untuk memiliki akses informasi yang baik untuk mendukung efektifitas pelaksanaan test tersebut.
2. Adanya kebutuhan untuk menerapkan pengawasan berdasarkan standar Internasional yang mengacu kepada 25 Basle Core Principles serta adanya kewajiban untuk menerapkan Pengawasan Berbasis Risiko (Risk Based Supervision). Pendekatan baru ini bersifat forward looking, komprehensif dan antisipatif, sehingga pengawas dituntut memahami bank dari segala aspek. Konsekwensinya adalah pengawas harus memiliki akses informasi yang dapat diandalkan untuk menjawab kebutuhan tersebut.
Apabila dilakukan assessment terhadap sistem informasi konvensional, maka tampaknya belum dapat menjawab kebutuhan tersebut, sehingga perlu dipikirkan alternatif lainnya. Pengenalan Economic Intelligence (EI) diyakini dapat menjawab tantangan tersebut. Namun untuk menerapkan konsep tersebut dengan mempertimbangkan kondisi yang ada saat ini, maka perlu dilakukan persiapan ke arah itu dengan menerapkan knowledge management untuk pelaksanaan EI secara utuh dan optimal.

Beberapa program yang berkaitan dengan hal ini adalah sebagai berikut ;
1. Meningkatkan intelligence awareness di lingkungan pengawas dan pemeriksa. Diyakini bahwa sebenarnya sebelum melakukan penerapan konsep knowledge management maupun economic intelligence, telah banyak knowledge yang dimiliki, namun tidak dilakukan manajemen secara terstruktur, sehingga tidak dapat memberikan kontribusi yang optimal pada proses pengambilan keputusan.
2. Menyiapkan struktur organisasi yang berbasis pengetahuan, misalnya dengan melakukan pengelompokkan bank berdasarkan karakter yang sama (misalnya bank yang memiliki pemegang saham yang berasal dari negara yang sama disatukan dalam satu bagian pengawasan), melakukan alokasi pengawas berdasarkan pemerataan kompetensi, serta membuat event-event yang berkaitan dengan penebaran knowledge. Selain itu, dilakukan job enrichment terhadap peran unit pendukung bidang informasi yang tedapat di masing-masing direktorat pengawasan untuk bertindak selain intelligence fascilitator juga bertindak sebagai knowledge manager. Seiring dengan hal tersebut, diperkenalkan juga teknik indentifikasi dan searching knowledge baik menggunakan sarana IT maupun non IT.
3. Dalam hal pengaturan, perlu dilakukan perluasan dari konsep research based policy menjadi intelligence based policy, karena hasil dari proses intelligence dapat bersifat cukup signifikan sebagai pemicu sebuah kebijakan serta seringkali diperlukan adanya kebijakan yang krusial untuk mengatasi situasi yang mendesak di tengah cepatnya perubahan yang terjadi di pasar.
4. Memperbanyak alternatif sumber informasi yang tidak hanya berasal dari laporan bank saja, melainkan juga termasuk kepada informasi lainnya seperti informasi aktivitas bank di pasar serta adanya kemampuan untuk melakukan akses kepada sumber informasi lainnya. Selain itu, sejalan dengan adanya kenyataan bahwa konglomerasi keuangan masih kental, maka pemahaman kondisi bank yang tidak boleh lepas dari pemahaman bank secara menyeluruh terkonsolidasi dengan kelompok usahanya. Sebagai konsekwensinya, maka perlu adanya sumber informasi yang cukup ekstensif.
5. Melengkapi pengawas dan pemeriksa dengan sistem IT yang baik, sehingga dapat mendukung diperolehnya informasi yang lengkap, akurat, kini dan utuh. Saat ini sudah terdapat Sistem Informasi Management baik untuk pengawas maupun untuk pemeriksa. Selain itu dukungan dari data warehouse dan corporate portal Bank Indonesia juga dapat membantu untuk melakukan penjaringan informasi.

Sebagaimana dikemukakan di depan bahwa dalam pelaksanaannya proses transformasi dari paradigma lama yang berorientasi informasi menjadi intelligence memerlukan proses yang tidak mudah. Dengan demikian, memerlukan suatu upaya yang terus menerus. Upaya ini harus dilakukan terutama karena kebutuhan akan Economic Intelligence ini sudah tidak dapat dielakan lagi dalam era kehidupan bisnis perbankan yang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, serta adanya tuntutan penerapan pengawasan bank berbasis risiko.

Minggu, 13 April 2008

Perputaran Intelijen

Sedikit memenuhi harapan sebagian pembaca tentang teknik intelijen, berikut ini saya sarikan apa yang disebut perputaran intelijen atau lingkaran kerja intelijen atau the intelligence cycle.

lebih nyaman rasanya menggunakan istilah asing the intelligence cycle.

The intelligence cycle adalah proses mengolah informasi mentah menjadi produk intelijen yang disampaikan kepada pengambil kebijakan untuk digunakan dalam penentuan kebijakan dan langkah-langkah pelaksanaan kebijakan. Ada 5 langkah dalam perputaran intelijen.



  1. Planning and Direction. Merupakan manajemen informasi mulai dari identifikasi data-data yang diperlukan sampai pengiriman produk intelijen ke pengambil kebijakan atau pengguna produk intelijen. Merupakan awal dan akhir dari lingkaran. Menjadi awal karena berkaitan dengan penyusunan rencana yang mencakup kebutuhan pengumpulan informasi yang spesifik dan menjadi akhir karena produk akhir intelijen yang mendukung keputusan kebijakan, menciptakan permintaan-permintaan produk intelijen yang baru. Keseluruhan proses mengacu pada petunjuk pengambil kebijakan seperti Presiden atau Perdana Menteri, pembantu-pembantu di jajaran eksekutif seperti Dewan Keamanan Nasional, anggota kabinet....yang kesemua itu mengawali permintaan khusus kepada intelijen.
  2. Collection. Adalah pengumpulan data/informasi mentah yang diperlukan untuk memproduksi analisa intelijen. Ada banyak sekali sumber-sumber informasi termasuk informasi terbuka seperti berita radio asing, surat kabar, majalah, internet, buku, dll. Informasi terbuka merupakan salah satu sumber utama intelijen yang harus dimekanisasikan secara disiplin menjadi sebuah rutinitas sehari-hari yang menjadi supply tidak terbatas yang akan mendukung analisa intelijen. Bila anda pernah berkunjung ke CSIS di Tanah Abang III Jakarta, perhatikan bagaimana intelijen masa Orde Baru berbagi teknik dengan lembaga penelitian dan menjadikannya sebagai salah satu lembaga yang disegani. Guntingan Koran CSIS adalah khas pekerjaan membosankan yang sangat vital bagi intelijen, khususnya bagi perwira analis, karena dengan mengikuti setiap waktu perkembangan terkini dari media massa akan melatih insting analisanya. Di samping itu, ada juga informasi rahasia dari sumber-sumber yang rahasia pula. Informasi ini hanya memiliki prosentase yang kecil namun sifatnya amatlah sangat penting sehingga sering juga menjadi penentu dari sebuah produk intelijen. Biasanya diperoleh dari operasi tertutup oleh para agen intelijen atau melalui informan. Secara teknis penngumpulan data juga dilakukan oleh peralatan canggih secara elektronik dan fotografi serta satelit.
  3. Processing. Berkaitan dengan interpretasi atas data/informasi yang sangat banyak. Mulai dari penterjemahan kode, penterjemahan bahasa, klasifikasi data, dan penyaringan data. Dalam organisasi intelijen tradisional dan konservatif, seorang agen baru seringkali harus melalui masa-masa membosankan melakukan pemilahan data berdasarkan kategori yang ditentukan atasannya. Hal ini sangat penting untuk membiasakan diri dalam menyusun jurnal pribadi maupun jurnal unit yang sangat vital dalam mempercepat proses penemuan kembali data-data lama yang tersimpan. Juga membiasakan diri untuk segera melihat data dari sudut pandang potensi spot intelijen atau memiliki potensi ancaman.
  4. All source Analysis and Production. Merupakan konversi dari informasi dasar yang telah diproses menjadi produk intelijen. Termasuk didalamnya evaluasi dan analisa secara utuh dari data yang tersedia. Seringkali data yang ada saling bertentangan atau terpisah-pisah. Untuk keperluan analisa dan produksi, seorang analis, yang biasanya juga spesialis bidang tertentu, sangat memperhatikan tingkat "kepercayaan"data (bisa dipercaya atau tidak), tingkat kebenaran dan tingkat relevansi. Mereka menyatukan data yang tersedia dalam satu kesatuan analisa yang utuh, serta meletakkan informasi yang telah dievaluasi dalam konteksnya. Bagian akhirnya adalalah produk intelijen yang mencakup penilaian atas sebuah peristiwa serta perkiraan akan dampaknya pada keamanan nasional. Salah satu unsur vital dari produk intelijen adalah peringatan dini dan perkiraan keadaan. Sementara model laporan ada macam-macamnya mulai dari yang sangat singkat berupa telpon lisan yang menjadi laporan kepada pimpinan negara, sampai laporan yang cukup tebal mencakup analisa perkiraan keadaan tahunan. Dari beberapa kasus yang terungkap di media massa, terlihat jelas bahwa baik BIN maupun BAIS TNI sangat lemah di sektor analis ini, entah karena sumber daya manusia-nya yang levelnya masih sebatas lulusan akademi militer, D3 atau S1 saja, atau karena memang keterbatasan dana yang menyebabkan lembaga intelijen tidak berkutik soal peningkatan SDM. Bandingkan misalnya dengan CIA atau Mi6 yang secara aktif mengirimkan para analisnya ke universitas-universitas di berbagai negara untuk menempuh studi doktor sekaligus memantapkan spesialisasi masing-masing.
  5. Dissemination. Merupakan langkah terakhir yang secara logika merupakan masukkan untuk langkah pertama. Adalah distribusi produk intelijen kepada pengguna (pengambil kebjiakan) yang biasanya adalah mereka yang meminta informasi kepada intelijen. Untuk kasus Indonesia, pengguna disini hampir identik dengan Presiden.